JAKARTA, Panjimas.com – Sehubungan dengan keluarnya Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi per 28 September 2021 yang ditandatangani langsung oleh Mendikbud Ristek, dan telah menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam pada khususnya dan di kalangan akademisi muslim dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Maka setelah melalui penelitian ilmiah serta mempelajari sejarah perjuangan feminis atas ‘Kekerasan Seksual’ selama ini, maka Persatuan Ummat Islam (PUI) menyatakan pernyataan sikapnya, sebagai berikut:
1. Mengingatkan bahwa tujuan pendidikan sebagaimana diamanahkan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
2. Terlihat sangat nyata bahwa Permendikbud Ristek nomor 30 tahun 2021 mengadopsi draft lama Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang telah ditolak masyarakat luas dan DPR pada periode 2014-2019 karena jelas bertentangan dengan Pancasila.
3. Sebagaimana landasan filosofis draf lama RUU P-KS, hal yang sama jelas tersurat dalam Permendikbud Ristek no 30 tahun 2021, yakni paradigma sexual-consent. Paradigma ini memandang bahwa standar benar dan salah dari sebuah aktifitas seksual tidak lagi agama tetapi berganti kepada persetujuan dari para pihak. Selama tidak ada pemaksaan, selama telah berusia dewasa, dan selama ada persetujuan, maka aktifitas seksual menjadi halal, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah. Termasuk perilaku yang dianggap tidak bermasalah adalah persetujuan untuk membuka pakaian seseorang, mengusap dan meraba seseorang, membuat konten video porno, hingga melakukan transaksi dan aktifitas seksual. Jelas hal ini sangat bertentangan dengan moralitas berbasis Pancasila.
4. Praktik Zina dan LGBT adalah salah satu sebab utama maraknya tindak kejahatan seksual terhadap perempuan maupun anak-anak selama ini, maka negara tidak boleh malah memperluas berkembangnya praktik ini.
5. Penggunaan definisi relasi kuasa dan relasi gender jelas tidak diambil dari Pancasila, melainkan diambil dari konstruksi berpikir Barat seperti Marxisme yang bertentangan dengan fitrah penciptaan manusia. Tuhan telah menciptakan jenis kelamin (sex), adapun gender adalah orientasi seksual yang boleh berbeda dari jenis kelamin, maka konsep gender yang diterima luas di Barat, tidak kompatibel dengan moralitas ketimuran di Indonesia.
6. Penderita LGBT adalah pasien yang harus dibantu kesembuhannya melalui Lembaga Konseling. Menjadi tugas negara untuk memfasilitas konseling di tingkat pendidikan tinggi sehingga setiap manusia dapat hidup sesuai fitrah kelahirannya. Oleh karenanya, upaya Pendidik atau Tenaga Kependidikan dan masyarakat kampus yang berusaha meluruskan penyimpangan orientasi seksual haruslah mendapatkan apresiasi dan dukungan penuh, bukan malah berpotensi dikriminalisasi sebagaimana pasal 1 ayat 1 yang berbunyi: “Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban…”. Jangan sampai upaya pendidikan berbasis fitrah manusia dianggap melakukan ‘kekerasan seksual’ hanya karena dianggap “mendiskriminasi identitas gender seseorang”.
7. Mengingatkan pemerintah bahwa identitas gender jika mengacu pada definisi WHO (https://www.who.int/health-topics/gender#tab=tab_1) sangat jelas membuka karpet merah bagi LGBT: “Gender identity refers to a person’s deeply felt, internal and individual experience of gender, which may or may not correspond to the person’s physiology or designated sex at birth”.
8. Permendikbud Ristek ini juga berpotensi melahirkan praktik ‘monopoli’ khususnya dalam bab pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penangangan Kekerasan Seksual yang cenderung memihak kepada gerakan feminisme radikal dan secara otomatis telah memarginalkan peran ulama, organisasi berbasis keagamaan, keluarga dan bahkan menganggap para pendidik di pendidikan tinggi tidak kompeten dalam menangani berbagai persoalan terkait seksualitas dan dalam melakukan penanaman nilai-nilai agama dan moralitas. Hal ini terlihat pada pasal 24 ayat (4) yang berbunyi: “Anggota panitia seleksi sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat: a. pernah mendampingi Korban Kekerasan Seksual; b. pernah melakukan kajian tentang Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas; c. pernah mengikuti organisasi di dalam atau luar kampus yang fokusnya di isu Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas; dan/atau d. tidak pernah terbukti melakukan kekerasan termasuk Kekerasan Seksual…”.
9. Permendikbud Ristek ini juga berpotensi menyebarkan pemikiran kebebasan seksual selama dilakukan secara aman melalui penggunaan kondom dan seks sehat meski dilakukan di luar pernikahan melalui apa yang berkembang di dunia sebagai Comprehensive Sexuality Education (CSE) sebagai bagian yang selalu terikat dengan Model Pencegahan dan Penangangan Kekerasan Seksual dalam paradigma Barat, sebagaimana pasal 6 ayat (2) disebutkan: “… mewajibkan Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan untuk mempelajari modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditetapkan oleh Kementerian”.
10. Dunia pendidikan adalah benteng terakhir dalam menjaga moralitas bangsa dari serbuan pemikiran asing yang merusak nilai-nilai Pancasila di NKRI. PUI masih percaya bahwa Kemendikbud Ristek sangat peduli dalam persoalan ini dalam pengembangan regulasi pendidikan di NKRI. PUI mendukung segala upaya penghilangan dampak negatif dari aktifitas seksual, tapi dengan cara yang lebih komprehensif sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, sehingga kalimat ‘Kekerasan Seksual’ dapat diganti dengan ‘Kejahatan Seksual’ yang lebih kompatibel dengan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan mencakup berbagai bentuk perzinahan yang telah dilarang agama, sebagai wujud Berketuhanan Yang Maha Esa dan Berkemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Dengan demikian, PUI meminta kepada Mendikbud Ristek untuk mencabut Permendikbud no 30 tahun 2021 atau digantikan dengan aturan baru yang sesuai jiwa dan nilai-nilai Pancasila, dan agar dalam pembahasannya melibatkan organisasi keagamaan yang juga menjadi stakeholder dalam pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia, agar setiap peraturan yang keluar dapat berlaku efektif karena telah sesuai dengan norma-norma masyarakat Indonesia yang ber-Pancasila.
Jakarta, 30 Oktober 2021
Dewan Pengurus Pusat
PERSATUAN UMMAT ISLAM (PUI),
Dr. KH. WIDO SUPRAHA, M.Si (Ketua)
H. RAIZAL ARIFIN (Sekretaris Jenderal)