Jakarta, Panjimas.com – Peringatan Hari Santri yang dilaksanakan setiap tahun mesti menjadi momentum untuk menjadikan pesantren sebagai pusat kebangkitan pendidikan di Indonesia.
Momentum ini penting, sebab pesantren dan santri harus mampu merespon tantangan cepatnya perubahan secara tepat agar peradaban Islam tidak tergilas zaman.
“Pesantren telah menjadi sentral kebangkitan dan perjuangan sejak zaman penjajahan dahulu,” kata Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) Dr.H. Adian Husaini dalam webinar bertajuk ‘Peta Jalan Kebangkitan Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Terbaik’, Jumat (22/10/2021).
Dr. Adian melanjutkan, banyak tokoh Islam yang berjuang melawan penjajahan Belanda dengan cara mendirikan pesantren, seperti yang dilakukan oleh Syaikh Yusuf Al-Makassari, Syaikh Abdul Samad Al-Palimbani, dan lainnya.
Menurut Dr. Adian, mengutip pernyataan pahlawan nasional Mohammad Natsir, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang dikembangkan dalam rangka perjuangan bangsa Indonesia.
“Dengan demikian, pesantren bukan saja merupakan lembaga pendidikan tetapi merupakan peran yang penting dalam perjuangan nasional,” katanya.
Konsep pesantren, lanjutnya, juga dikembangkan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara yang dahulu mendirikan Taman Siswa karena menolak keras sistem pendidikan yang dibangun Belanda.
“Ki Hajar Dewantara menolak sistem pendidikan Belanda karena dibangun hanya untuk kepentingan mereka,” ujar Dr. Adian.
Ia melanjutkan, Ki Hajar Dewantara menguraikan sifat pesantren atau pondok dan asrama yaitu sebagai rumah kiai guru, yang dipakai untuk pondokan santri-santri dan rumah pengajaran juga. Di sana setiap hari guru dan murid berkumpul jadi satu melakukan kegiatan belajar mengajar sendiri.
“Menurut Ki Hajar Dewantara, mendidik berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak-anak kita supaya mereka kelak menjadi manusia berpibadi yang beradab dan bersusila,” jelasnya.
Ki Hajar Dewantara juga menjabarkan, pengajaran adab kepada siswa bermaksud memberikan agar jiwa anak terbangun seutuhnya bersamaan dengan pendidikan jasmaninya.
“Makanya menarik ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sejak zaman Anies Baswedan hingga Nadiem Makarim selalu menggaungkan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara,” ujarnya.
Namun demikian, ia juga mewanti-wanti kepada orang tua siswa agar tidak menjadikan pesantren sebagai tempat ‘pelarian’ pendidikan bagi anak-anaknya yang dianggap bermasalah.
Pesantren bukan wadah untuk menjadikan anak-anak yang bermasalah menjadi lebih baik secara instan. Pendidikan harus kerjasama pesantren dan orang tua.
” Harus diingat menanamkan adab itu butuh keteladanan dan pembiasaan,” pungkas Dr. Adian.