JAKARTA, Panjimas.com – Terkait rencana menjadikan tokoh sekuler Turki, Mustafa Kamal Attaturk sebagai nama jalan di Jakarta masih menjadi polemik dan kontroversi banyak kalangan. Salah satunya tanggapan datang dari Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid.
Dirinya mengkritik dan menolak rencana itu karena selain tidak cocok dengan karakteristik Jakarta serta juga Indonesia sebagai negara yang religius demokratis serta juga sesuai dengan tokoh pendiri bangsa Indonesia, yakni Presiden Soekarno yang tidak sekuler, demokratis, tidak anti Islam dan tidak anti Arab.
Hidayat Nur Wahid (HNW) yang juga pejabat tinggi di DPP PKS itu juga mengatakan apabila wacana tersebut dihadirkan sebagai tata krama diplomatik karena Turki telah menyematkan nama proklamator Indonesia, Ahmet Soekarno, sebagai jalan di depan KBRI Ankara, maka Pemerintah Indonesia bisa mengusulkan nama-nama yang lain selain Attaturk.
“Yaitu nama-nama tokoh Turki yang tidak kontroversial dan yang bisa hadirkan penguatan hubungan karena nama-nama itu begitu harum diterima masyarakat luas di Indonesia seperti Sultan Muhammad Al Fatih atau tokoh sufi Jalaluddin ar Rumi,” ujar HNW melalui pernyataan tertulisnya pada, Selasa (19/10).
Lebih lanjut, HNW mengatakan bahwa masalah ini sudah jadi perhatian masyarakat luas, yang mayoritas mutlaknya menyatakan menolak, secara rasional dan argumentatif. Tercatat pihak Pimpinan MUI Pusat, PP Muhammadiyah, Sekjen PBNU, KAHMI, Ketua MUI DKI, Wakil Ketua MPR, Ketua BKSAP DPR RI, Wakil Ketua DPRD DKI dari PKS, telah menyampaikan penolakan mereka secara terbuka.
“Bahkan saya dalam tiga titik reses kemarin di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, juga menerima aspirasi dari tiga komunitas warga (para Pimpinan RT&RW, Pimpinan Pengajian Shubuh dan Pimpinan Jawara Betawi), yang secara terus terang menyampaikan keberatan dan penolakan mereka atas wacana penamaan jalan di Menteng Jakarta dengan nama Mustafa Kemal Ataturk. Aspirasi dari banyak kelompok masyarakat yang menolak ini tentunya juga sudah dibaca oleh pihak Turki, dan karenanya penting menjadi perhatian Pemerintah Indonesia, Pemprov DKI Jakarta dan pihak Kedubes RI di Ankara,” ungkap HNW.
“Semua pihak di Indonesia mendukung penguatan hubungan RI dengan Turki. Tetapi masih banyak nama-nama tokoh Turki yang terhormat dan tidak kontroversial, dan diterima umat Islam di Indonesia, seperti Sulaiman Al Qanuny, Muhammad Al Fatih, atapun penyair Islam dan tokoh sufi yang lama menetap di Turki Jalaludin Rumi, yang bisa menjadi simpul penguat hubungan kedua belah pihak,” tambahnya.
HNW menjelaskan bahwa pemberian nama hendaknya memang dalam rangka menghormati, saling menghormati, tetapi tidak harus beraroma resiprokal, timbal balik. Maroko misalnya, sudah memberikan nama Soekarno untuk jalan di Rabath, karena penghormatan mereka atas jasa Soekarno terhadap bangsa-bangsa di AsiaAfrika, dan Gerakan Non Blok, tanpa meminta nama Raja Maroko dijadikan sebagai nama jalan di Jakarta.
Selain itu, lanjutnya, meski sama-sama bergelar Bapak Bangsa, ada perbedaan yang mendalam antara Soekarno dan Attaturk.
“Bung Karno tidak memotong akar sejarah Bangsa Indonesia, dengan memaksakan ideologi impor; Bung Karno tidak mensekulerkan Indonesia. Beliau hadirkan Pancasila sebagai ideologi negara yang digali dari budaya dan sejarah Indonesia. Karenanya dalam Pancasila ada Ketuhanan YME. Bung Karno juga tidak anti Islam/Arab, apalagi melarang bacaan shalat dan azan pakai bahasa Arab dan mengubahnya pakai bahasa Indonesia,” tegasnya.
Selain itu katanya Bung Karno juga menumbuhkan Nasionalisme dengan menumbuhkan demokrasi tapi bukan demokrasi sekuler liberal, karenanya Bung Karno tetap menghormati Agama bahkan merestui diadakannya Kementerian Agama. Bung Karno juga tidak menghapus kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, Bung Karno malah mendapatkan dukungan dari kerajaan-kerajaan Islam Mataram, Siak, Pontianak dan lainnya. Sedangkan Attaturk justru melakukan sebaliknya.