JAKARTA, Panjimas.com – Kasus terbunuhnya 6 Laskar FPI sudah memasuki babak persidangan dengan menghadirkan 2 orang polisi sebagai tersangka kasus pembunuhan di luar proses hukum (Unlawfull Killing) yang terjadi di Km 50 Tol Jakarta-Cikampek.
Namun yang menarik jadi perhatian adalah walau sidang digelar di PN Jakarta Selatan para kuasa hukum dan keluarga korban 6 Laskar FPI mengganggap persidangan yang berlangsung hanyalah dagelan dari para aparat penegak hukum.
Menurut salah satu kuasa hukum 6 Laskar yakni, Aziz Yanuar SH terjadi hal yang tidak masuk akal, dimana para tersangka penembak dan pembunuh 6 Laskar itu yakni dari pihak anggota polisi tidak ditangkap dan dimasukkan ke sel. Salah satunya adalah anggota polisi (FR) dan (MYO) yang diduga ikut menembak enam laskar tetap aktif bekerja sebagai polisi di Polda Metro Jaya (PMJ).
“Para pelaku penembakan tidak ditangkap dan ditahan. Menurut Komnas HAM dalam surveilans itu ada surat perintahnya. Jika itu benar, siapa yang memerintahkan? Mengapa yang memerintah tidak diungkap dan tidak ditahan juga. Hal tersebut membuktikan kemungkinan diduga sidang dan proses itu hanya dagelan,” kata Azis seperti yang dilansir oleh Republika, Senin (18/10).
Karenanya, baik Azis maupun pengacara lain yang mewakili keluarga korban, menganggap bahwa sidang dan proses hukum yang menjerat dua tersangka yang merupakan anggota polisi tersebut hanyalah formalitas belaka. Azis mengaku bahkan tidak tertarik untuk mengikuti semua proses dagelan tersebut. “Kami tidak tertarik pada dagelan, kami tidak akan (hadir di persidangan),” ujar pengacara muda tersebut.
Kasus pembunuhan enam anggota Laskar FPI mulai disidang di PN Jaksel pada Senin (18/10). Dua anggota kepolisian aktif, yakni Ipda M Yusmin Ohorella (MYO) dan Briptu Fikri Ramadhan (FR) akan dihadirkan sebagai terdakwa.
Dari hasil investigasi Komnas HAM, pembunuhan enam nyawa tersebut sebagai pelanggaran HAM berupa unlawfull killing atau pembunuhan yang terorganisir tanpa ada dasar hukum. Akan tetapi, dari enam korban pembunuhan tersebut, hanya empat kasus yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM