SOLO (Panjimas.com) – Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Tangerang (HIMATA) Banten Raya menggelar aksi unjuk rasa dalam memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-389 Kabupaten Tangerang di halaman Kantor Bupati Tangerang, di Tigaraksa, Rabu (13/10/2021) kemarin.
Dalam video yang beredar di media sosial, terjadi kericuhan yang menunjukan para peserta aksi unjuk rasa dianiaya oleh aparat kepolisian. Pengunjuk rasa diseret, diinjak, dipukul, ditendang, bahkan yang paling disorot saat aparat membanting salah satu mahasiswa dengan cukup keras.
Video tersebut akhirnya mendapat perhatian masyarakat. Salah satu praktisi hukum asal kota Solo sekaligus tim advokasi DSKS Hery Dwi Utomo, S.H., M.H menyebut bahwa tindakan aparat dalam demonstrasi di Tangerang tersebut bertentangan dengan Pasal 23 Perkapolri Nomor 9 Tahun 2008 tentang tata cara penyelenggaraan pelayanan pengamanan dan penanganan perkara untuk menyampaikan pendapat di muka umum.. Poin sebagai berikut :
a. terhadap peserta yang taat hukum harus tetap di berikan perlindungan hukum;
b. terhadap pelaku pelanggar hukum harus dilakukan tindakan tegas dan proporsional;
c. terhadap pelaku yang anarkis dilakukan tindakan tegas dan diupayakan menangkap pelaku dan berupaya menghentikan tindakan anarkis dimaksud.
“Di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa pihak kepolisian satuan pengamanan dilarang untuk spontanitas dan emosional. Misalnya, mengejar pelaku, membalas, melempar pelaku, menangkap dengan kasar dengan menganiaya atau memukul,” tuturnya melalui pesan suara kepada Panjimas.com, Kamis (14/10/2021).
Dijelaskan oleh Hery, satuan pengamanan dilarang keluar dari ikatan satuan formasi dan melakukan pengejaran masa secara perorangan atau tidak patuh dan taat kepada perintah kepala satuan lapangan yang bertanggung jawab sesuai tingkatannya melampaui kewenangan dan melakukan kekerasan penganiayaan yang melanggar HAM serta perbuatan-perbuatan lain yang melanggar undang-undang.
“Itu kemarin dari pihak Kapolres sudah menyatakan bahwa demonstrasi ini harus ditangani secara Humanis. Jadi, tindakan tersebut melanggar Perkap yang mengatur tentang pengamanan demonstrasi itu. Terus pengamanan demonstrasi ini juga diatur dalam Perkapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang pedoman pengendalian massa, bahkan aturan ini tidak mengenal kondisi khusus yang dapat dijadikan dasar aparat kepolisian melakukan tindakan Represi,” katanya.
Ia menegaskan bahwa Perkap tersebut tidak memuat adanya kondisi-kondisi tertentu sehingga aparat boleh melakukan tindakan yang represif. Protap tersebut menegaskan bahwa dalam kondisi apapun melarang anggota satuan Dalmas untuk melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur.
Aturan tersebut terdapat dalam pasal 7 ayat 1 Perkap Kapolri No 16 tahun 2006 tentang pedoman pengendalian massa hal-hal yang dilarang dilakukan satuan Dalmas adalah bersikap Arogan dan terpancing melakukan tindakan kekerasan tidak sesuai dengan prosedur, membawa peralatan di luar peralatan Dalmas, membawa senjata tajam dan peluru tajam dan melakukan pengejaran masa secara perorangan, serta melakukan pelecehan seksual, melakukan kata-kata kotor dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang oleh undang-undang.