JAKARTA, Panjimas – Kabar persetujuan Presiden Jokowi atas rencana Kapolri untuk merekrut 57 pegawai KPK yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) Polri, dinilai aktivis Tionghoa anti korupsi, Lieus Sungkharisma sebagai tindakan telat dan cuma lips service.
“Itu tindakan telat dan cuma lips service. Kalau presiden memang menaruh perhatian pada nasib ke-57 pegawai KPK itu, seharusnya dari awal beliau turun tangan atas masalah ini dengan menganulir mekanisme TWK yang terkesan dibuat-buat hanya untuk menyingkirkan ke 57 orang itu dari KPK,” kata Lieus.
Lebih lanjut, koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak) ini menyebut, rencana merekrut eks pegawai KPK menjadi ASN Polri itu juga menyalahi logika dan akal sehat. “Bagaimana mungkin orang tidak lulus TWK, mau direkrut jadi pegawai Polri yang justru menjadikan TWK sebagai syarat utama untuk menjadi pegawai di institusinya?” Seru Lieus.
Karena itulah, kata Lieus, baik rencana Kapolri maupun persetujuan presiden Jokowi atas upaya rekrutmen eks pegawai KPK itu sebagai tindakan penyelamatan yang telat. “Cuma lips service aja itu,” katanya pada wartawan.
Kalau Presiden Jokowi memang mau menyelamatkan KPK dan meningkatkan kinerja lembaga anti korupsi itu, kata Lieus, seharusnya dia langsung bertindak ketika salah seorang penyidik KPK yang dinyatakan tak lolos TWK, yakni Harun Al Rasyid, menyatakan jika diaktifkan kembali dia bisa dalam waktu singkat menangkap tersangka kasus suap Pergantian Antar Waktu (PAW) Anggota DPR RI, Harun Masiku yang jadi buronan.
“Seharusnya Presiden Jokowi saat itu juga memerintahkan pimpinan KPK untuk mengaktifkan kembali Harun Al Rasyid sebagai pegawai KPK untuk membuktikan janjinya menangkap Harun Masiku. Tapi justru hak itulah yang tidak digunakan Jokowi sebagai presiden,” kata Lieus.
Karena itulah Lieus setuju para pegawai eks KPK itu menolak tawaran menjadi ASN Polri atau pegawai BUMN itu. Lieus pun mendukung para mantan pegawai KPK ITU membentuk organisasi sendiri seperti yang beberapa hari lalu dideklarasikan, Indonesia Memanggil 57 atau IM 57 + Institute.
“Saya setuju dengan gagasan itu. Sebab itu lebih realistis dan bisa lebih bekerja secara independen dalam memberantas korupsi di negeri ini,” katanya.