JAKARTA, Panjimas – Dalam kesempatan acara kunjungan ke salah satu pesantren di Jawa Timur, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Moeldoko menyampaikan tentang paham radikal yang menyusup di lembaga pendidikan. Ia mengatakan paham itu sudah menjadi ancaman nyata yang akan merusak persatuan bangsa.
Dalam kesempatan acara itu, Moeldoko juga menyebutkan bahwa penyebaran paham radikal sebagai bagian dari perang budaya. Menurutnya, paham itu bertujuan melumpuhkan keyakinan ideologi bangsa.
Menanggapi hal itu Sekjen MUI, Amirsyah Tambunan mengingatkan jangan mudah memberikan cap radikal yang berkonotasi negatif kepada lembaga pendidikan. Karena lembaga pendidikan seperti pesantren, madrasah telah terbukti melahirkan tokoh, kiyai, ulama pendiri bangsa dan memperjuangkan kemerdekaan NKRI.
Menurutnya lebih baik pemerintah memberikan keteladanan seperti apa perkataan dan tindakan yang tidak radikal. Misalnya memberikan contoh penegakan hukum secara adil tidak tumpul keatas, tajam kebawah. Misalnya ketika menjelaskan diksi radikal telah menyusup di tengah-tengah masyarakat dan lembaga pendidikan.
“Harus dijelaskan menyusupnya seperti apa, olah siapa? Jangan malah menimbulkan ketakutan masyarakat, sehingga menimbulkan radikal yang tak ada penyelesaian,” ujar Amirsyah Tambunan pada Sabtu, (17/9/2021).
Dalam acara itu Moeldoko menyebutkan “Ketika ada gerakan radikal menyusup harus di waspadai karena gerakannya tersistematis dan terstruktur,” kata Moeldoko di Pondok pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, pada hari Kamis (16/9).
Sekjen MUI itu juga mengingatkan semua pihak agar penyebab radikal, yang konotasi negatif harus di selesaikan, antara lain pemerintah membuat contoh seperti apa budaya bermasyarakat dan berbangsa yang tidak radikal.
Artinya contoh moderasi ideologi bermasyarakat, berbangsa dan bernegara lebih penting dilakukan. Karena menurut buya Amirsyah ketidak adilan penyebab utama lahir radikal oleh oknum penegak hukum, termasuk oleh oknum pemerintah yang mudah memberikan cap radikal, lagi-lagi sebab utama (kausalitas) atau akar masalahnya munculnya radikal baru, sehingga istilah radikal tidak akan bisa di selesaikan.
“Oleh karena itu, kami mengajak semua pihak untuk menyampaikan haruslah sama antara kata dengan perbuatan yang proporsional dan profesional sehingga terhindar dari perbuatan yang extrim kiri sosialisi-komunis dan extrim kanan yang menyalahgunakan paham agama,” tandasnya
Terakhir kepada Panjimas, Buya Amirsyah Tambunan juga menegaskan bahwa maraknya korupsi dan lemahnya penegakan hukum yang menyebabkan istilah radikal berkonotasi negatif itu sendiri.