JAKARTA, Panjimas – Belakangan ini ramai pemberitaan soal Dana Anggaran Diseminasi Pembatalan Haji tahun 2021 yang mencapai 21 Miliar lebih yang disorot masyarakat karena dianggap aneh dan tidak wajar soal jumlah dana dan kegiatan yang sangat tidak wajar tersebut.
Adalah Bukhori Yusuf selaku anggota Komisi VIII DPR RI yang menolak pernyataan Menteri Agama soal anggaran diseminasi pembatalan haji senilai Rp 21,7 Miliar merupakan hasil kesepakatan Kementerian Agama dengan Komisi VIII DPR RI. Menurut Bukhori, klaim sepihak tersebut tidaklah tepat.
Sebelumnya pada Rapat Kerja antara Komisi VIII DPR RI dan Menteri Agama RI tertanggal 30 Agustus 2021, Bukhori dan anggota Komisi Agama yang lain sempat menyorot anggaran senilai Rp 21,7 Miliar yang dialokasikan untuk kegiatan Diseminasi terkait Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji Tahun 2021. Selain itu, anggaran senilai Rp 76 Miliar untuk Program Prioritas Kementerian Agama juga menimbulkan pertanyaan.
Sebagian anggota Komisi Agama DPR menganggap nilai anggaran itu terbilang fantastis untuk sebuah kegiatan sosialisasi pembatalan haji, disamping soal program prioritas Kementerian Agama yang tidak mencantumkan penjelasan rinci ihwal peruntukannya.
Merespons hal itu, Menteri Agama Gus Yaqut mengaku keberadaan mata anggaran soal sosialisasi pembatalan haji adalah ‘hasil kesepakatan’. Lebih lanjut, di hadapan para anggota Komisi VIII DPR, Gus Yaqut juga berjanji tidak akan melanggar hasil kesepakatan dengan dengan DPR. Walhasil, pernyataan janggal ini yang akhirnya menuai protes dari Bukhori.
Legislator daerah pemilihan Jawa Tengah 1 ini mengatakan, salah satu dampak dari UU No. 2 Tahun 2020 adalah perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dimungkinkan diatur hanya dengan Peraturan Presiden (Perpres) kendati secara konstitusional menegasikan kewenangan DPR.
Untuk diketahui, pemerintah telah menerbitkan Perpres No 72/2020 untuk merevisi Perpres No 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Postur APBN Tahun Anggaran 2020. Pemerintah berdalih payung hukum ini dibentuk demi mengakomodir kebutuhan belanja negara yang meningkat untuk penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi nasional.
Selain itu, perpres ini disebut sebagai payung hukum untuk outlook peningkatan defisit perubahan APBN Tahun Anggaran 2020 yang sebelumnya defisit 5,07 persen terhadap PDB sebagaimana dalam Perpres yang lama, kemudian meningkat menjadi 6,34 persen terhadap PDB.
“Fraksi PKS menjadi satu-satunya fraksi di parlemen yang menolak Perppu Covid yang kemudian disahkan menjadi UU No 2 Tahun 2020. Salah satu pertimbangannya, kami khawatir dengan pengelolaan uang rakyat yang dikerjakan secara sepihak oleh pemerintah tanpa pengawasan ketat oleh DPR selaku wakil rakyat lantaran kewenangan kami yang diamputasi melalui UU itu,” tuturnya.
Dengan demikian, lanjut anggota Badan Legislasi ini, tidak heran bagi kami ketika Menteri Agama secara sepihak mengklaim alokasi anggaran sebanyak Rp 21 Miliar maupun yang Rp 76 Miliar itu disebut telah memperoleh ‘kesepakatan DPR’. Bagi kami, itu hanya lip service, karena sesungguhnya Kementerian Agama tetap bisa mengeksekusi anggaran tersebut tanpa bersepakat dengan DPR sekalipun.
“Artinya, perlu saya luruskan, bahwa tidak tepat jika mata anggaran yang disampaikan Kementerian Agama tersebut merupakan hasil kesepakatan dengan Komisi VIII DPR.” pungkasnya