JAKARTA, Panjimas – Tim Peneliti Baha’i Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia mengeluarkan rekomendasi terkait ajaran Baha’i yang sempat mendapatkan ucapan selamat hari raya dari Menteri Agama Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas.
Tim penelitian yang diketuai Dr. Taufik Hidayat merekomendasikan kepada pimpinan Dewan Da’wah Islamiyyah Indonesia dan organisasi masyarakat (ormas) Islam lainnya agar membentuk tim hukum terkait ajaran Baha’i.
“Untuk membawa masalah Baha’i ini ke jalur hukum, dengan tetap dibantu oleh anggota-anggota Tim Peneliti Baha’i,” kata Dr. Taufik kepada mediadakwah.id, Selasa (2/8/2021).
Dia melanjutkan, terdapat cukup banyak bukti yang mengindikasikan adanya unsur penodaan agama Islam yang dilakukan oleh pendiri dan para pengikut Baha’i.
Menurut Dr. Taufik, tim hukum ini akan dipimpin oleh ahli yang mempunyai kompetensi terkait masalah penodaan/penistaan agama.
“Sehingga dapat ditentukan apakah bisa diambil langkah-langkah hukum selanjutnya kepada para pengikut dan organisasi Baha’i,” ujar Dr. Taufik.
Adapun, Tim Peneliti Baha’i Dewan Da’wah menemukan beberapa data dan fakta terkait ajaran Baha’i pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Pertama, organisasi Baha’i pernah dilarang Perdana Menteri Djuanda melalui Surat Perdana Menteri Nomor 122/P.M/1959 tanggal 12 Maret 1959 karena praktik ajarannya dapat memecah belah dan mengganggu ketenteraman umum.
“Hal itu diperkuat oleh Presiden Soekarno melalui Keppres Nomor 264 tahun 1962 karena Baha’i tidak sesuai kepribadian bangsa Indonesia dan bagian dari kepanjangan tangan imperialisme,” kata Dr. Taufik.
Para pengiktu Baha’i juga terindikasi kuat menodai/menista agama Islam dan melanggar Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
Adapun bunyi 2.Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 menyatakan: “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu”.
“Terdapat sejumlah fakta yang menunjukkan indikasi kuat bahwa Baha’i adalah aliran yang menyimpang dari ajaran Islam dan telah memenuhi unsur-unsur pidana sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965,” katanya.
Fakta-fakta itu, kata Dr. Taufik, antara lain adalah pendiri Baha’i mengaku sebagai Nabi dan pengikutnya mengakui dia sebagai Nabi setelah Rasulullah Muhammad shallallahu’alaihi wasallam.
“Sedangkan salah satu ajaran pokok dalam Islam adalah bahwa tidak ada lagi nabi/utusan Allah subhanahu wa ta’ala setelah Nabi Muhammad SAW,” katanya.
Dr. Taufik melanjutkan, menurut kitab Miftaahu Baabil Abwaab halaman 20, Husein Ali Al-Mazandarani alias Bahaaullah (pendiri Baha’i) juga menyatakan dirinya lebih baik dari Rasulullah.
Padahal menurut ajaran Islam tidak ada manusia yang paling bertakwa/beriman/baik di muka bumi selain Nabi Muhammad SAW.
Husein Ali Al-Mazandarani juga menyataan kitab ajaran Baha’i yaitu Al-Aqdas lebih baik daripada Al-Qur’an. Sedangkan menurut Islam kitab Al-Qur’an adalah kitab terakhir yang diturunkan Allah SWT hingga akhir zaman dan penghapus syariat yang datang sebelumnya.
“Dia juga menyatakan hukum Al-Qur’an sudah dibatalkan dengan adanya kitab Al-Bayan milik Baha’i, mereka juga sering mencampuradukkan ayat Al-Qur’an dan hadis dengan kutipan ajaran agama lain, mendukung Zionis Israel, serta penyimpangan lainnya,” ujar Dr. Taufik.
Tim peneliti, kata Dr. Taufik, juga melihat ajaran Baha’i juga berpotensi merusak agama-agama lain serta memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
“Karena menjadikan agama tidak mempunyai ‘rumah tangga’nya masing-masing dengan berusaha ingin menggabungkan seluruh agama dalam satu kesatuan di bawah Baha’i,” ujarnya.