JAKARTA, Panjimas – Kembali umat Islam Indonesia berduka. Rektor Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) sekaligus pimpinan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Huzaemah Tahido Yanggo, meninggal dunia.
“Di hari Jumat yang penuh barokah ini, Allah SWT memanggil kembali ke hadirat-Nya guru kami tercinta Al-Marhumah Ibunda Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, MA. Beliau wafat di RSUD Banten, Jumat pagi (23/7/2021). Indonesia berduka. Beliau adalah sosok ulama perempuan langka yang dimiliki Indonesia,” kata Ketua MUI Asrorun Ni’am dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Jumat (23/7/2021).
Asrorun Ni’am mengatakan juga kalau Huzaemah merupakan sosok ulama perempuan langka di Indonesia. Dia menjadi guru besar di bidang fikih perbandingan (muqaranah madzahib).
Prof Huzaemah bersama Prof Zakiyah Darajat dan Doctor Adian Husaini, dll, adalah Nama-nama beken yang menjadi Benteng-benteng Islam lainnya di Negeri ini.
Almarhumah tak pernah takut debat terbuka dengan Tokoh-tokoh JIL semisal Musdah Mulia..
Ketika penerbitan buku-buku bertema Liberalisme mendapat dukungan dana dari barat, Maka Almarhumah mencetak buku bantahannya dengan biaya sendiri.. Alasan Almarhumah cuma satu : “Saya tidak rela Al Qur’an dan Hadits di acak acak!”,” ujarnya saat itu.
Untuk kembali mengenang perjuangan dan sepak terjang beliau. Berikut petikan perbincangan antara Wartawan Sabili dengan Prof Dr Huzaemah T Yanggo beberapa tahun lalu. Wanita yang memperoleh gelar Doktor pertama di Bidang Fikih Muqaranah Univ Al Azhar Mesir. Beginilah sikap, pendirian serta keilmuan almarhumah semasa hidup.
T : Apa benar Kompilasi Hukum Islam (KHI) dipermasalahkan?
J : Iya, memang. Ketuanya Siti Musdah Mulia. Kita diundang sebagai dewan pakar.
T : Bagaimana bisa terjadi?
J : Saya tidak tahu bagaimana bisa terjadi. Mereka itu kan maqashid syari’ah (tujuan syariah)nya: pluralisme, demokrasi, gender dan HAM. Kalau kita kan maqashidus syaria’ah-nya: hifdz ad-dien, hifdz an-nas, hifdz al-aql, hifdz an-nafs, dan hifdz al-maal (menjaga agama, kemanusiaan, akal, jiwa dan harta benda).
T : Soal gender?
J : Saya juga mendukung. Saya dulu Ketua PSW (Pusat Studi Wanita) UIN Syarif Hidayatullah. Persamaan hak itu tidak selalu menguntungkan, bisa merugikan perempuan sendiri. Itu saya tidak sependapat, apalagi sampai bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
T : Bagaimana dengan kaum feminis yang memperjuangan persamaan gender?
J : Saya termasuk orang yang memperjuangkan hak perempuan yang belum diberikan. Tapi bukan kita mengada-ada. Jangan yang tidak ada dalam ajaran agama atau yang bertentangan dengan ajaran agama, kita perjuangkan. Misalnya seorang istri yang dicerai talak tiga oleh suaminya, dia harus menikah dulu dengan yang lain baru boleh suaminya balik lagi. Lalu, mereka, dengan alasan persamaan hak, mengharuskan laki-laki kawin dulu dengan perempuan lain baru boleh balik sama istrinya. Mereka (JIL-red) tidak sadar, mereka sendiri yang mengharamkan poligami, secara tidak langsung membolehkan poligami. Mereka memikirkan atau tidak, itu malah menambah beban suaminya nanti. Kalau balik sama dia (istri pertama, red) kan tambah lagi istri, tambah lagi anaknya. Mungkin ada anak tiri. Tambah sakit hati lagi. Katanya, mengangkat derajat perempuan?
T : Tidak selamanya kesetaraan itu menguntungkan wanita?
J : Iya, bimaa fadhdhalallaahu ba’dhahum ‘alaa ba’dhin (Karena Allah telah memuliakan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) (QS an-Nisaa’: 34). Masing-masing ada perannya. Seperti mencari nafkah. Mereka bilang mencari nafkah itu juga wajib bagi perempuan. Padahal kalau perempuan memberikan nafkah ke keluarga, itu kan hanya sebagai tabarru’ (sumbangan) saja. Jadi kewajiban tetap di pihak laki-laki.
T : Itu sudah sesat atau bagaimana?
J : Bisa dikatakan seperti itu.
T : Lalu Ibu menyusun buku bersama Ibu Prof Zakiah Daradjat?
J : Ndak dengan Ibu Zakiah, saya sendiri yang menulisnya. Wartawan saja yang bilang buku itu disusun bertiga. Yang benar saya menulisnya sendiri.
T : apa latar belakang menulis buku itu?
J : Ya, dorongan untuk mempertahankan agama. Misalnya perkawinan beda agama boleh, laki-laki kalau cerai dengan istrinya harus ber’iddah. Itu kan bertentangan dengan al-Qur’an. Perempuan juga wajib bayar mahar sesuai dengan budaya setempat, contohnya Sumatera Barat. Padahal Sumatera Barat itu bukan mahar yang dikasih oleh perempuan, tapi itu uang jemputan. Mahar tetap dibayar. Tidak semua orang Minang melaksanakannya, hanya sedikit saja.
Pokoknya kita itu harus kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah karena Nabi mengatakan taraqtu fi kum amraini lan tadhillu maa intamassaktum bihi ma abadan kitaballahi wa sunnata rasulihi (Aku telah meninggalkan dua hal. Jika kamu berpegang kepadanya kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul).
T : Kelemahan JIL apa ?
J : Mereka itu meninggalkan nash dan hanya melihat masalah sosial budaya. Budaya itu kalau sesuai dengan syariat kita pakai. Budaya itu kalau dalam Ushul Fiqih disebut al-‘urf. ‘Urf itu terbagi dua: ‘urf shahih dan ‘urf bathil. ‘Urf shahih itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Kalau al-’urf bathil adalah yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Apakah al-Qur’an dan Sunnah mengikuti budaya atau budaya yang mengikuti al-Qur’an dan Sunnah? Susah kalau kita tidak mengikuti pegangan umat Islam.
T : Mereka itu mengutamakan budaya dan alergi terhadap syariah?
J : Kita menghargai orang berijtihad. Silakan saja berijtihad. Tapi, bila kita berijtihad jangan menyalahi aturan-aturan yang telah ada, bahkan yang telah dikenal oleh ulama-ulama Islam sedunia.
T : Indonesia dikatakan tempat subur bagi perkembangan Islam liberal ?
J : Susahnya, umat Islam sendiri yang melemahkan umat Islam yang lain. Mestinya kita yang mempertahankan ajaran Islam. Ini malah kita sendiri yang mengikuti pemikiran-pemikiran liberal semacam itu.
T : Apakah ini upaya Barat untuk melemahkan Islam?
J : Bisa saja.
T : Sejauh mana pengamatan Ibu, bahwa ini adalah trik barat ?
J : Dugaan kita seperti itu. Barat menuduh orang Islam itu teroris. Padahal tidak ada ajaran Islam yang menghendaki seperti itu. Nabi saja kalau mengirim sahabat untuk peperangan selalu menasihatkan: Jangan kalian memerangi orang tua, perempuan, jangan menebang pohon-pohon.
T : Bagaimana bentuk dukungan Barat terhadap upaya penyesatan itu?
J : Iya, contohnya mencetak buku itu, dananya dari Asia Foundation. Selalu mengadakan seminar dan penelitian. Katanya, buku yang mereka buat, Counter Legal Draft (CLD) KHI itu, dananya tujuh miliar dari Asia Foundation.
T : Bagaimana dengan UU kekerasan dalam rumah tangga?
J : Iya, kecolongan lagi. Sebenarnya dalam perkawinan itu ada huquq az-zaujiyah. Namanya hak suami memberi nafkah, melindungi, menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Pemimpin dalam hal ini artinya mengayomi. Dalam al-Qur’an, laki–laki atau suami diserukan wa asyiruhunna bil ma’ruf, pergaulilah istri-istrimu dengan cara yang ma’ruf, yang patut.
T : Ribut-ribut soal KHI, Ibu sendiri bagaimana melihatnya?
J : Kalau dulu, sebelum ada KHI, = sering antara satu pengadilan dengan pengadilan agama yang lain dalam masalah yang sama, = kadang-kadang berbeda putusannya. Setelah ada, ini bisa menjadi pedoman bagi mereka, walaupun masih ada kekurangan-kekurangannya. Pemerintah sudah mengusulkan secara resmi ke DPR untuk menjadikannya sebagai undang-undang hukum terapan peradilan agama. Tahu-tahu nongol CLD-nya Musdah Mulia.
KHI ini lebih dulu dari CLD, sudah diseminarkan berkali-kali. KHI itu resmi dibuat oleh pemerintah, diajukan ke DPR. Kalau yang ini (CLD), Departemen Agama kecolongan, karena pengaruh persamaan gender di belakangnya. Karena mengatasnamakan Depag, orang terkecoh. Dia (Musdah Mulia=red) memang tim persamaan gender. Tapi bukan untuk membuat undang-undang, melainkan untuk mengkaji masalah wanita. Malah dalam pembahasannya, diundang orang dari agama lain.
T : Dananya besar ya ?
J : Dari Asia Foundation. Misalnya buku Bu Musdah baru-baru ini diterbitkan, judulnya Muslimah Reformis. Makanya kata Pak Ali Yafie pada waktu bedah buku saya, “Jangan menyangka bahwa dengan terbitnya buku Ibu ini nanti mereka berhenti. Nanti mereka terbit dengan versi lain lagi.”
Betul, seminggu atau dua minggu muncul lagi buku mereka. Bukunya besar dan luxs. Sedangkan kita, dengan uang saku sendiri. Buku itu kita keluarkan hanya karena tidak tahan melihat apa yang terjadi, karena tidak tega kalau al-Qur’an dan Hadits diutak-atik.
T : Apa benar yang dibawa Ulil atau Bu Musdah sesuatu yang baru?
J : Sesuatu yang baru? Ada juga yang sebelumnya. Misalnya pendapat Abu Zaid yang banyak diangkatnya. Abu Zaid itu kan sekarang ngajar di Yogya. Dulu dia di Mesir, sudah diputuskan di mahkamah Mesir, murtad. Lalu lari ke Belanda. Karena dia orang “pintar”, diangkat jadi dosen di sana. Nggak tahu gimana, dosen dari Belanda dipakai lagi untuk kerja sama dengan UIN Yogya, jadi dosen UIN Yogya.
J : Ada ancaman mati terhadap Ulil, ada pula Masdar di Mesir yang mau dibunuh di sana?
J : Kalau itu saya tidak setuju. Tidak boleh main hakim sendiri.
Mereka malah makin berani…
Mudah-mudahan mereka sadar. Nabi saja bahkan dengan macam-macam cobaan dari kaumnya yang waktu itu belum beriman, menyiksa, mengejek. Beliau doakan, “Wahai Tuhan! Berikanlah petunjuk pada kaumku karena mereka belum mengetahui.” Mudah-mudahan nanti akan sadar, insya Allah. Kita doakan saja.
T : Kenapa di Indonesia pemikiran liberal menjadi subur?
J : Ada juga yang karena masalah pribadi. Ada juga karena dorongan ekonomi. Dapat uang misalnya. Karena dapat uang seperti tadi, menulis nanti dapat uang.
T : Ada faktanya ?
J : Kan kenyataan, itu yang dicetak ongkosnya sampai tujuh miliar. Ada satu orang, saya tidak mau menyebutkan namanya, seorang pakar dari bidang KHI yang resmi dipakai, sekarang mendapat tawaran menulis. Kalau dia mau menulis tentang pembaruan kompilasi hukum Islam yang ada, yang dipakai berjalan sekarang, dikasih 40 juta rupiah. Tapi tidak mau. Pakar tersebut berkata, untuk apa saya menjual akidah saya.
T : Jadi benar bahwa perkembangan Islam Liberal di Indonesia bukan karena perkembangan pemikiran?
J : Karena ekonomi, juga karena cari nama.
T : Islam liberal subur di NU?
J : Tidak juga. Di Muhammadiyah juga ada Pak Zainun (Zainun Kamal, red). Itu kan Muhammadiyah. Kalau dari NU banyak yang ke JIL. Kalau dari Muhammadiyah banyak ke JIM (Jaringan Intelektual Muda, red). Itu kan pemikiran liberal semua. Jadi dari dua organisasi besar ini, ada anak mudanya ikut seperti itu.
T : Sejauh mana bahayanya pemikiran ini?
J : Berbahaya, mengancam agama, meresahkan masyarakat. Makanya Menteri Agama waktu peluncuran buku saya mengatakan, “Saya sudah batalkan! Saya sudah batalkan!” Maksudnya CLD-KHI itu sudah dia batalkan.
T : Bagaimana jika pemikiran semacam ini didiamkan, katakanlah 10 tahun ke depan, apakah akan semakin berkembang?
J : Walaupun ada pemikiran seperti itu, mayoritas belum setuju dengan pendapat begitu. Sebetulnya yang ada begitu sedikit, hanya beberapa orang. Wartawan juga yang bikin mereka terkenal. Orang-orang kebanyakan malah semua nggak senang, resah.
T : Kenapa tidak ditindak tegas?
J : Soalnya yang lainnya nggak kompak. Mengcounter hanya sendiri-sendiri. Coba kalau ramai-ramai.