SOLO (Panjimas.com) – Tiga nelayan yang menolong dan melakukan evakuasi warga etnis Rohingya yang terdampar di laut Aceh pada 24 Juni 2020 lalu, dihukum lima tahun penjara karena dinyatakan oleh hakim telah melanggar Pasal 120 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian Juncto Pasal 55 KUHPidana.
Selain dihukum lima tahun penjara, tiga terdakwa dalam kasus tersebut dikenakan denda Rp 500 juta, subsider satu bulan kurungan. Ketetapan tersebut dinyatakan dalam sidang yang digelar oleh Majelis Hakim PN Lhoksukon, Aceh Utara, Senin (14/6/2021) lalu.
Mendengar kabar tersebut, seorang pakar hukum asal kota Solo Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H menanggapi kasus yang menimpa tiga nelayan penolong etnis Rohingya tersebut. Menurutnya pengenaan Pasal 120 ayat (1) juncto Pasal 6 dan pasal 5 KUHP sama sekali tidak tepat.
Pasal 120 tentang Imigrasi, Menurut Dr. Taufiq hanya berlaku bagi mereka yang melaksanakan yang disebut Human Traficking atau memperjualbelikan manusia, sedangkan dalam hal ini para nelayan niatnya adalah menolong.
“Nelayan itu menolong warga Rohingya yang terombang-ambing di lautan dan mereka kemudian dibawa oleh nelayan ke pinggiran untuk ditolong, bagaimana konteknya? ini bener-bener peradilan sesat itu, orang itu harus dibebaskan,” terang Dr. Taufiq kepada Panjimas.com, Kamis (17/6/2021).
Dr. Taufiq menambahkan bahwa UU Imigrasi tersebut lebih tepat jika berlaku kepada orang-orang yang meloloskan Harun Masiku (buronan kasus suap KPU), kemudian Paula yang membobol Bank BNI itu kena UU Imigrasi pasal 120, UU no 6 tahun 2011.