JAKARTA, Panjimas – Benarkah korupsi zaman now makin meluas ? Dengan slogan kerja, kerja, kerja, mestinya pemerintahan rezim Jokowi bisa memberantas praktek korupsi dengan cepat. Kita pun berharap pemerintahan ke depan makin Baik dan Bersih. Namun entah mengapa, ada pejabat mengatakan Korupsi makin meluas.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, korupsi tidak lagi dilakukan di pucuk eksekutif, tetapi sudah meluas secara horizontal ke oknum-oknum legislatif, yudikatif, auditif, dan secara vertikal dari pusat sampai ke daerah.
“Lihat saja para koruptor yang menghuni penjara sekarang, datang dari semua lini horizontal maupun vertikal,” kata Mahfud. (republika.co.id. Rabu, 26/5).
Dari pernyataan Menkopolhukam itu, penulis memberikan tiga catatan penting sebagai berikut.
PERTAMA, Pengakuan Gagal Memberantas Korupsi. Pengakuan jujur Menkopolhukam dapat dimaknai sebagai pengakuan Pemerintahan rezim Jokowi telah gagal memberantas korupsi. Bagaimana pun sebagai pejabat tinggi yang merupakan bagian dari pemerintahan rezim Jokowi, Mahfud telah dengan gagah berani menegaskan kepada publik. Ia jujur mengatakan bahwa korupsi kini semakin meluas. Dapat dimaknai juga bahwa rezim ini telah gagal dalam memberantas korupsi.
Rapor Merah rezim Jokowi dalam pemberantasan korupsi dapat kita lihat dari IPK (Indeks Persepsi Korupsi) atau Corruption Perception Index (CPI). Ternyata IPK di tahun 2020 ini turun makin parah, dari 40 jadi turun 37. Padahal nilainya diukur dari skor 0-100. Dimana semakin kecil IPK maka semakin korup.
Sebaliknya semakin besar IPK maka semakin bersih dari korupsi. Sedangkan IPK negeri ini di tahun 2020 tidak sampai 50 poin, bahkan sudah nilai 40 pun masih cenderung turun lagi. Ini indikasi kondisi korupsi semakin parah dan meluas.
KEDUA, Pengakuan Korupsi semakin meluas. Selain gagal memberantas korupsi, juga gagal mencegah terjadinya korupsi. Ini diakui dengan pernyataan bahwa korupsi kini semakin meluas.
Menurut Mahfud, harus diakui tindakan korupsi semakin meluas. Dulu korupsi dilakukan setelah APBN ditetapkan atas usulan pemerintah. Kini, sebelum APBN dan APBD ditetapkan, negosiasi-negosiasi proyek untuk APBN dan APBD itu sudah ada.
“Kalau dulu korupsi dilakukan setelah APBN ditetapkan atas usulan pemerintah, sekarang ini sebelum APBN dan APBD, jadi sudah ada nego-nego proyek untuk APBN dan APBD,” ungkap Mahfud. (tempo.co.id, 26/05/21)
Dulu korupsi dilakukan setelah ada Anggarannya. Kini korupsi sudah jauh lebih maju dan bisa direncanakan. Anggaran belum ada dan belum di tetapkan sudah ada rencana dan negosiasi proyek-proyek. Bahkan tradisi ini terjadi meluas hampir disemua lini pemerintahan dari pusat hingga daerah.
KETIGA, Pilar negara terpapar korupsi. Nyaris tak adalagi institusi negara yang tak terpapar korupsi. Tiga pilar negara; legislatif, eksekutif maupun yudikatif, semua sudah turut menyumbangkan pejabatnya yang terjerat kasus korupsi. Betapa banyak anggota DPR yang sudah terjerat Korupsi, seperti Setnof, Markus Nari, I Nyoman Dhamantara, Romi, dll. Pilar eksekutif juga tak ketinggalan, sudah ada ratusan pejabat dari kalangan kepala daerah level Bupati dan Gubernur, bahkan ada dari kalangan Menteri, seperti Edhy Prabowo dan Juliari Peter Batu Bara.
Dari kalangan Yudikatif pun tak mau ketinggalan, ada jaksa dan hakim yang terlibat korupsi juga. Bahkan yang menghebohkan, ada pucuk pimpinan Mahkamah Konstitusi (Akil Mochtar) juga terjerat Korupsi.
Nyaris tak ada lagi institusi negara yang tak terpapar virus korupsi. Praktek korupsi sudah meluas secara horizontal ke berbagai oknum legislatif, eksekutif dan yudikatif. Bukan hanya Meluas tapi juga mendalam secara vertikal dari pusat sampai ke pelosok daerah.
Menurut Menkopolhukam, semua itu dilakukan atas nama demokrasi. Di sisi lain, pemerintah tidak mudah untuk menindak, karena di dalam demokrasi pemerintah tidak bisa lagi mengonsentrasikan tindakan dan kebijakan di luar kewenangan. Apalagi para politisi hasil pesta demokrasi yang super mahal itu banyak “Berhutang Budi” baik kepada donatur atau sponsor maupun pada tim suksesnya.
Padahal, Demokrasi memberikan kewenangan kepada para politisi untuk memproduksi aturan dan undang-undang. Akibatnya Pemerintahan demokrasi selalu terjebak dalam “lingkaran setan demokrasi” yang sebagian orang menggunakan istilah “demokrasi kriminal”.
Pemerintahan demokrasi yang dikendalikan para politisi dan pebisnis (oligarki) maka akan menghasilkan produk hukum dan penegakan hukum yang berpihak pada kepentingan oligarki. Tak perlu heran jika produk hukum yang dihasilkan seperti UU Minerba, UU Omnibus Law, Revisi UU KPK, dll. yang dirasakan lebih berpihak pada kepentingan oligarki daripada rakyat. Akibatnya penegakan hukum akan berpihak pada kepentingan oligarki.
Di saat korupsi semakin meluas, IPK turun dari 40 jadi 37, justru kita disibukkan dengan isu Radikalisme & terorisme. Bahkan kebijakan yang diambil pun malah melemahkan KPK. Ya, dengan melakukan revisi UU KPK, banyak kalangan menilai Rezim Jokowi sedang melemahkan KPK. Akibatnya KPK sibuk dan ribut sendiri. Bukan sibuk mengejar para koruptor. Tapi sibuk mengejar para pegawainya sendiri, para pemburu koruptor.
Mereka sibuk melakukan tes wawasan kebangsaan kepada pegawainya sendiri yang konon materi tesnya sangat aneh dan tak profrsional. Mereka juga sibuk mau memecat para pemburu koruptor. Disisi lain para koruptur aman-aman saja. Di saat bersamaan ada 75 pemburu koruptor (pegawai KPK) yang tidak aman karena terancam dipecat.
Di saat KPK makin lemah bahkan mengalami “sakaratulmaut”, masih ada publik yang bertanya, apa kabar Harun Masiku ?
Penulis: Wahyudi Almaroky (Dir. PAMONG Institute)
NB: Penulis pernah Belajar Pemerintahan pada STPDN 1992 angkatan ke-4, IIP Jakarta angkatan ke-29 dan MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.