SOLO (Panjimas.com) – Dalam proses persidangan Habib Rizieq Shihab bertensi tinggi di dua tempat berbeda secara online, Jum’at (19/3/2021) kemarin, penuh kejadian yang dipertontonkan kepada masyarakat.
Penghadangan pengacara terdakwa oleh aparat untuk masuk ke ruang sidang, dilakukan pemaksaan secara fisik terhadap terdakwa untuk masuk ke ruang sidang, hingga terjadi adu argumen antara terdakwa dan Majelis Hakim.
Jaksa penuntut umum bersikeras memaksa kepada terdakwa untuk mengikuti sidang online meskipun terdakwa menyatakan keberatan. Pakar hukum dan ahli pidana Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H menilai pihak-pihak yang melakukan penodaan terhadap proses keadilan terdakwa yakni Habib Rizieq Shihab dan beberapa eks pengurus FPI dalam kasus yang sama atau disebut dengan istilah “Contempt Of Court”.
“Contempt Of Court itu bukan berarti menodai pengadilan, tetapi menodai proses keadilan itu yang harus diluruskan dulu. Jadi Contempt Of Court itu yang selama ini dipahamkan atau disalahpahamkan seolah-seolah menodai pengadilan atau menodai persidangan, tidak! tapi menodai keadilan,” tutur Dr. Taufiq kepada Panjimas.com, Sabtu (20/3/2021).
Menurutnya dalam peristiwa tersebut, permintaan Habib Rizieq sederhana yaitu dilaksanakan sidang offline. Dalam hal ini seharusnya diperlakukan secara manusiawi dan dipenuhi hak-haknya sebagai terdakwa. Terdakwa sendiri menurut definisi hukum adalah seseorang yang berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dinyatakan bersalah atau terpidana.
“Nah ini Habib Rizieq Shihab ini statusnya adalah terdakwa, terdakwa itu artinya orang yang belum dinyatakan bersalah. Bersalah menurut definisi hukum adalah seorang yang berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dinyatakan bersalah itulah terpidana,” ungkapnya.
Dr. Taufiq kembali menjelaskan bahwa semua hak-haknya saksi, tersangka, terdakwa, terpidana tersebut diatur dalam KUHAP khususnya bantuan hukum pasal 56-72 yang memperbolehkan untuk meminta haknya.
“Lagipula kalau berdasarkan Perma, konyol ya, konyol banget! Perma itu hanya mengatur sidang elektronik, tidak mengatur bahwa semua sidang harus dilaksanakan secara elektronik, tidak! is not true!” ujarnya.
Jika kita lihat dimana aturan contempt of court? itu diatur dalam pasal 207, 212,214,2017 yang bunyinya sebagai berikut :
Pasal 207 KUHP
Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 212 KUHP
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 214 KUHP
Memaksa seseorang pejabat untuk melakukan perbuatan jabatan
atau untuk melakukan perbuatan jabatan yang sah.
“Dan kita diatur pula di kitab undang-undang hukum pidana misalkan bisa kita lihat di pasal itu tadi UU pidana, kemudian hukum acaranya diatur di 217 dan 218,” terangnya.
Pasal 217 KUHP
Barang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan atau di tempat di mana seorang pejabat sedang menjalankan tugasnya yang sah di muka umum, dan tidak pergi sesudah diperintah oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah.
Pasal 218 KUHP
Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak Rp9.000.
“Jadi tindakan jaksa atau siapapun yang menodai hak HRS itu masuk kategori “Contempt Of Court”,” pungkasnya.