SOLO (Panjimas.com) – Ditangkapnya seorang warga Slawi berinisial AM oleh Tim Virtual Police Polresta Surakarta karena menulis komentar yang dinilai menghina Walikota Surakarta Gibran Rakabuming Raka menuai kritikan.
Berawal dari akun Instagram pribadinya @arkham_87, AM menulis komentar pada unggahan akun @garudarevolution terkait permintaan Gibran agar semifinal dan final Piala Menpora digelar di Solo.
“Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja,” tulis AM pada Sabtu (13/3) pukul 18.00 WIB.
AM kemudian ditangkap dan baru dilepaskan setelah menghapus komentarnya dan menyatakan permintaan maaf secara terbuka melalui akun resmi Instagram Polresta Surakarta @PolrestaSurakarta.
Kapolresta Surakarta Ade Safri Simanjuntak menilai komentar tersebut mengandung unsur hoaks karena mengatakan Gibran hanya mendapat jabatan dari bapaknya yang saat ini menjabat sebagai Presiden RI yaitu Joko Widodo.
“Komentar tersebut sangat mencederai KPU, Bawaslu, TNI, Polri dan seluruh masyarakat Kota Solo yang telah menyelenggarakan Pilkada langsung sesuai UUD 1945,” pungkas Ade.
Atas kejadian itu, Pakar Hukum Pidana Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H turut melancarkan kritikan terhadap pihak yang terkait. Menurutnya terdapat dua kesalahan di dalam praktek hukum acara.
Yang pertama disebutkan Dr. Taufiq, bahwa hukum pidana mengenal tentang Locus Delicti dan Tempus Delicti. Berikut penjelasan singkatnya :
1. Locus Delicti
Berasal dari kata Locus yang berarti tempat atau lokasi dan Delicti yang berarti delik atau tindak pidana. Penentuan tempat terjadinya suatu tindak pidana memiliki arti yang penting untuk menentukan tempat pengadilan yang berwenang dalam mengadili suatu tindak pidana
2. Tempus Delicti
Berasal dari kata Tempo yang berarti waktu dan Delicti yang berarti delik atau tindak pidana. Jadi Tempus Delicti adalah waktu terjadinya suatu delik atau tindak pidana
“Kalau lihat locusnya ada di Tegal, ya polisi tidak bisa. Polisi kan punya yuridiksi. Jadi saya tidak mengerti itu, kebablasan itu menurut saya. Mengambil orang yang bukan berada di wilayah hukumnya,” ungkapnya.
Sedangkan yang kedua disebutkan Dr. Taufiq bahwa Kepolisian terkesan tidak memahami Surat Edaran Kapolri No. 2/11/2021 tertanggal 25/2/2021.
“Yang dimaksudkan Restorative Justice itu bukan orang ditangkap kemudian minta maaf, Restorative Justice itu tidak ada pemidanaan. Kalau orang ditangkap kemudian disuruh minta maaf itu sudah dipidana namanya,” katanya.
Tim Virtual Police tersebut dinilai justru membuat masyarakat takut berekspresi. Dalam pandangannya sebagai ahli pidana, kalimat yang ditulis oleh AM tersebut tidak melakukan kesalahan atau unsur pidana.
“Nggak ada yang salah itu, kecuali kalau dia bilang “dia dapat jabatan dari nyogok, karena menguasai KPU, menguasai Bawaslu” nah itu baru mungkin ada unsur pidananya, mungkin,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Dr. Taufiq menilai tindakan yang dilakukan Kepolisian seharusnya melaksanakan Justice Restorative dengan memberikan peringatan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan. Namun justru melakukan penangkapan, menyuruh minta maaf, direkam dan disebarkan ke publik yang justru menjadi masalah baru.
Dr. Taufiq menyebutkan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2006 pasal 134 bahwa penghinaan Pejabat Negara telah dihapus. Ia kemudian mempertanyakan apa konsekuensi hukum terhadap yang bersangkutan. Jika telah dihapus, maka menjadi delik aduan. Sedangkan delik aduan sendiri baik aparat manapun tidak dapat melakukan tindakan penangkapan dengan dalih mewakili negara. Yang bersangkutan harus membuat pengaduan, bukan laporan pidana.
“Jadi saya pikir Kapolresta Surakarta Ade Syafri Simanjuntak itu tidak paham ya tentang UU ITE, tentang Restorative Justice, dan tidak mencerna secara keseluruhan SE Kapolri 2/11/2021. Bukan seperti itu penerapannya!” pungkasnya