JAKARTA, Panjimas – Sebuah informasi terbaru disampaikan oleh Menteri Keamanan Publik Srilanka, Sarath Weerasekera yang mengatakan pada hari Sabtu (13/3) lalu kalau dirinya sudah menandatangani surat untuk menyetujui kabinet yang melarang kaum muslimah di Srilanka dalam menutup wajahnya secara penuh dan itu menjadi hal banyak di kenakan kaum muslimah disana.
Hal ini tentu saja menimbulkan tanggapan dan komentar dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat seperti yang disampaikan oleh KH Jeje Zainuddin selaku Ketua Dewan Pimpinan Pusat MUI Bidang Pengembangan Seni Budaya dan Peradaban Islam pada Senin, (15/3/2021)
“Banyak negara yang mengambil sikap dan langkah yang salah ketika mereka menganggap ada ancaman ekstrimisme dan terorisme. Yaitu dengan mengeluarkan larangan pemakaian simbol-simbol Islam yang tidak ada kaitannya dengan ekstrimisme, seperti larangan burqa, cadar, atau bahkan jilbab pada perempuan,” ujar DR Jeje Zainuddin
Begitu juga menurutnya soal celana cingkrang atau jenggot pada laki-laki. Kebijakan dengan melakukan pelarangan-pelarangan itu sebenarnya adalah kebodohan terhadap inti permasalahan munculnya ekstrimisme.
“Kebijakan itu selain hanya berdasar emosional juga telah keluar dari alasan tujuannya. Pelarangan-pelarangan hak kaum muslimin seperti itu, tidak akan mengurangi gerakan ekstrimisme yang mereka takutkan, justru akan menambah militansi perlawanan dari pihak muslim yang anti pemerintah,” tutur DR Jeje yang juga menjabat sebagai Wakil Ketum PP. PERSIS
Masih menurutnya, justru ekstrimisme yang dialamatkan kepada kelompok perlawanan muslim, justru banyak dipicu karena tindakan zalim dan represif pemerintah Srilanka.
Jadi rencana pelarangan burqa dan penutupan ribuan sekolah Islam atau pelarangan apa saja menurutnya yang menjadi hak umat Islam dengan alasan keamanan negara untuk membendung ekstrimisme-terorisme adalah suatu langkah konyol yang melanggar hak-hak warga negara yang muslim.
“Oleh sebab itu sepatutnya dunia Islam melakukan langkah diplomasi maupun protes untuk menghentikan kebijakan Pemerintah Srilanka yang diskriminatif, represif, dan melanggar HAM itu,” pungkasnya.