YOGYAKARTA (Panjimas.com) – Gagasan untuk menghapus pendidikan agama di setiap sekolah ternyata pernah lontarkan oleh seorang Anggota Sekretariat CC PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1960-an, dimana Partai tersebut meraih kejayaan dan mendominasi jalannya pemerintahan pada era itu.
Bernama Siswoyo seorang Anggota Sekretariat CC PKI kelahiran Solo, Jawa Tengah 1925 sebagai anak dari seorang asisten wedana. Ia menduduki bagian penting dalam partai yang dibubarkan pada tahun 1965 hingga terlarang tersebut di bidang pendidikan.
Terdapat rekam jejak Siswoyo di Soloraya yang meliputi Sukoharjo, Solo dan Boyolali dalam gerilyanya bersama D.N Aidit yang bertempur secara sengit melawan TNI yang dibantu laskar anti-komunis pasca memanasnya peristiwa Madiun pada tahun 1948. Hal ini disebutkan dalam sebuah buku berjudul “Siswoyo Dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri” tulisan Joko Waskito tahun 2015 yang diterbitkan Ultimus dalam 224 halaman.
Namun kini yang tengah hangat diperbincangkan soal pendidikan agama yang diusik oleh seorang pendeta bernama Gomar Gultom, diduga telah mengadopsi gagasan yang tertuang dalam pidato Siswoyo.
“Satu soal lagi yang kini menjadi persoalan yang hangat dan prinsipil dalam lapangan ini ialah perjuangan antara yang ingin memasukkan pelajaran agama sebagai pelajaran yang pokok dalam sekolah-sekolah umum dan sekolah-sekolah negeri dan mereka, termasuk kita yang menolak keharusan itu. Kita berpendapat agama harus dipisahkan dari soal-soal kenegaraan, agama adalah soal pribadi masing-masing”. (Pidato kawan Siswojo, Bintang Merah Nomor Spesial Jilid II, Dokumen-dokumen Kongres Nasional ke VI PKI, 7-14 September 1959, Yayasan Pembaruan Jakarta 1960).
Pendeta Gomar Gultom menyatakan bawa jika negara menyusun kurikulum pendidikan agama dengan memasukkan dogma atau ajaran agama seperti yang dijalankan selama ini, menurutnya negara telah ikut berteologi dan menjadi sesuatu yang sangat absurd.
Majelis Mujahidin dalam rilisnya yang ditandatangani Ustadz Irfan S. Awwas selaku Ketua Lajnah Tanfidziyah, Senin (8/3/2021), menilai bahwa pernyataan tersebut adalah inkonstitusional, bertentangan dengan dasar negara dan menghina Pancasila. Yang mana Sila pertama Pancasila adalah menegaskan teologi agama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahwa Tuhan itu Tunggal, bukan tritunggal dan bukan pula tuhan kebudayaan.
“Setiap upaya menggiring opini yang ingin mengganti dasar negara dan menghina Pancasila, terindikasi sebagai musuh negara,” tutur Ustadz Irfan.
Sekalipun bukan hal baru, namun usulan untuk tidak memasukkan unsur ajaran agama yang bersifat dogmatik dalam kurikulum, dan tidak diajarkan di sekolah maupun di ruang publik. Menurut Ustadz Irfan, usulan tersebut justru yang absurd, karena bertentangan dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 2 tentang sistem pendidikan nasional.
Undang-Undang No. 20, Tahun 2003 Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.