JAKARTA, Panjimas – Pada hari Selasa (9/3/21) kemarin lanjutan sidang permohonan Prapid yang kedua oleh Habib Rizieq Shihab (HRS), di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Agenda sidang adalah penyampaian bukti-bukti tertulis oleh Pemohon maupun Termohon pihak Polda Metro Jaya.
Termohon juga menghadirkan saksi fakta yaitu ibu Kurnia Tri Royani,SH. Saksi menerangkan turut menyaksikan bahwa HRS datang secara sukarela ke Polda Metro Jaya pada tanggal 12 Desember 2020. Dengan didampingi kuasa hukumnya HRS memenuhi panggilan penyidik, setelah panggilan sebelumnya berhalangan karena sakit.
Saksi yang pada saat itu juga bertindak sebagai anggota tim kuasa HRS, juga menyaksikan bahwa Proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dilaksanakan pada siang hari sampai sekira tengah malam. Kemudian HRS disodorkan surat penangkapan dan juga sekaligus dilakukan penahanan. Pada saat itu HRS juga tidak bersedia menandatangani BAP, surat penangkapan dan penahanannya.
Menurut Djudju Purwantoro sbg anggota Tim Kuasa HRS, penetapan status tersangka kepada pemohon berdasarkan pasal 160, pasal 216 KUHP, dan pasal 93 UU No.6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dilakukan dengan cara sembrono dan tanpa dasar hukum yang jelas.
Padahal penanggkapan dan penahanan atas diri pemohon tanpa proses pemeriksaan (BAP) pendahuluan, dan penyitaan alat bukti. Proses hukum tersebut adalah tidak sah, jelas-jelas mengandung cacat hukum, tidak sesuai dengan hukum administrasi yang diatur KUHAP, dan melanggar Peraturan Kepala Kepolisian RI No.6 tahun 2019, tentang Penyelidikan Tindak Pidana.
Demikian pula, faktanya termohon melakukan penahanan atas diri pemohon dengan sangkaan pasal 160 KUHP (hasutan, kekerasan terhadap penguasa umum) berkerumun) yang merupakan ketentuan hukum umum (recht generalis). Bahwa HRS juga disangkakan atas pasal 93, UU No.6 tahun 2016 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang adalah bersifat pidana khusus ( lex specialis).
Diakui adanya azas hukum, ‘lex specialis derogate (legi) generali’, artinya undang-undang khusus mengeyampingkan undang-undang yang umum. Padahal, ahli hukum pidana (Prof.DR. Mudzakir, SH,MH), juga menyatakan ; “jika ada tindak pidana yang tidak sejenis (berbeda jenisnya) dalam suatu perbuatan pidana yang sama (heteroges), tetapi diatur dalam hukum pidana khusus dan hukum pidana umum, maka diberlakukan dengan hukum pidana khusus (lex specialis derogate legi generali).
Adapun agenda sidang berikutnya akan dilanjutkan pada hari Rabu (10 Maret 2021) ini pada pukul 10.00 WIBB