SOLO (Panjimas.com) – Dicabutnya lampiran Perpres No. 10/2021 terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras (miras) oleh Presiden Jokowi yang disampaikan di media sosial, Selasa (2/3/2021) kemarin, menurut Pakar Hukum Dr. Muhammad Taufiq tidak sepenuhnya benar.
“Lampirannya disitu antara lain mengatur tentang investasi di bidang miras, jenis investasi mirasnya, kategori miras, kemudian tempat-tempat dimana miras itu boleh didistribusi, pabriknya boleh dibangun dan seterusnya,” kata Dr. Taufik kepada Panjimas.com, Rabu (3/3/2021).
Timbul pertanyaan jika lampirannya tersebut dicabut, kemudian justru tumbuh peraturan baru yang menjadi otonomi daerah yang diterapkan beberapa Provinsi untuk mendirikan pabrik-pabrik miras dengan prosedur perizinan yang lebih mudah. Faktanya Presiden Jokowi tidak menjelaskan secara tegas apakah legalisasi peredaran miras dicabut atau tidak. Menurut Dr. Taufiq, Konsekuensi dicabutnya lampiran tersebut jika tidak diimbangi dengan penjelasan yang lengkap akan berpotensi munculnya multitafsir.
Dr. Taufiq menyatakan bahwa pencabutan lampiran Perpres tersebut sekaligus menutup peluang Gubernur Nusa Tenggara Timur untuk mendirikan pabrik miras lokal, karena investasi tersebut tetap tidak diperbolehkan. Sebelumnya disebutkan ketentuan untuk berinvestasi di bisnis tersebut adalah penanaman modal baru hanya dapat dilakukan di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan lokal.
“Jadi saya pikir sebuah keraguan juga, lebih baik biar tidak multitafsir ya Perpresnya itu dicabut, jadi daripada nanti muncul tafsiran “Pemerintah pusat tidak mengizinkan tetapi boleh didirikan di daerah” kan runyam itu dan sama artinya juga itu membiarkan terjadinya peredaran miras dimana-mana,” katanya.
Sebelumnya Ketua MUI Bidang Fatwa KH. Asrorun Niam Sholeh, dikutip dari situs resmi mui.or.id berharap pencabutan ini menjadi momentum untuk melakukan review terhadap peraturan perundang-undangan terkait. Sehingga nantinya tidak ada lagi peraturan perundang-undangan yang ramai ditolak masyarakat. Ia ingin ini menjadi momentum peneguhan komitmen dalam penyusunan regulasi yang lebih memihak kemaslahatan masyarakat.