JAKARTA, Panjimas – Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Dalam aturan turunan UU Cipta Kerja tersebut, Pemerintah membuka peluang investasi minuman keras (miras) berupa anggur dapat dilakukan di berbagai daerah, seperti Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua.
Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam-Perguruan Tinggi Dakwah Islam Indonesia (STAI-PTDII), Syifa Awalia sangat menyesalkan kebijakan ini.
“Meskipun dalam lampiran III Perpres hanya terbatas pada empat daerah dan daerah lainnya diserahkan kepada gubernur, ini sama saja membuka peluang legalisasi miras di berbagai daerah. Jelas (kebijakan itu) sangat berbahaya sekali untuk masa depan anak bangsa,” ujar Syifa dalam keterangannya, Ahad (28/2).
Lebih lanjut, kandidat doktoral manajemen sumber daya manusia (SDM) ini menyebutkan bahwa Perpres tersebut seolah mengabaikan aspek moralitas dan budaya ketimuran bangsa Indonesia. Hal ini juga tidak sejalan dengan cita-cita awal Jokowi dengan jargonnya ‘revolusi mental’.
“Dalam norma agama, khamr atau minuman keras adalah ummul khabaaits, yaitu induk dari segala kejahatan. Jangan sampai karena lebih mengutamakan investasi untuk asing dan dalam negeri, justru malah mengorbankan masa depan SDM kita,” katanya.
Mengenai peran dan posisi Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, Syifa turut mempertanyakan tindakan tegas dan langkahnya. Ia berharap Kyai Ma’ruf menunjukan keberpihakan dan dapat menjawab kegelisahan umat.
“Kita patut bersyukur memiliki Wapres yang merupakan ulama sekaligus umara. Tetapi kita perlu tahu sikap tegas dan keberpihakannya seperti apa,” ujarnya.
“Sudah banyak kasus kriminalitas akibat miras, jangan sampai Perpres ini menambah luas peredaran miras yang berujung pada masalah sosial dan kerawanan,” imbuhnya.