TAMBUN, Panjimas – Bermula dari niat ratusan Kepala Keluarga muslim di Cluster Water Garden yang ingin memiliki tempat ibadah guna menjalankan kegiatan sholat 5 waktu dan aktivitas kegiatan ibadah lainnya. Maka para warga berinsiatif mengumpulkan uang secara bergotong royong untuk pembelian sebidang tanah yang kemudian setelah tanah itu terbeli secara lunas dari pihak penjual. Yakni PT Putra Alvita Pratama (Sinarmas Group).
Kemudian setelah tanah tersebut dibeli warga selanjutnya dibangunlah sebuah bangunan Musholah yang sekali lagi atas patungan dan gotong royong dan swadaya masyarakat. Termasuk juga umat non muslim ikut mendukung pembangunan musholla tersebut dengan cara memberikan bantuan berupa bahan bangunan dan dana untuk pembangunan musholla yang kemudian diberi nama Musholah Al Muhajirin Cluster Water Garden, Grand Wisata, Bekasi.
Namun disaat pembangunan musholla berlangsung, tiba-tiba ada surat pemberitahuan dari pihak pengembang kepada panitia pembangunan musholla yang intinya ada pelarangan berdirinya mushola di cluster Water Garden itu. Hal ini tentu saja membuat aneh seluruh warga yang ada di cluster itu. Sebab pengembang sudah tidak punya hak mengatur dan melarang apapun terkait apa yang terjadi di cluster itu.
Sebab menurut Rahman Kholid, SH, MH selaku Ketua Yayasan Al Muhajirin sekaligus perwakilan warga yang menjelaskan bahwa pengembang sudah tidak kewenangan melarang apapun juga karena perumahan Grand Wisata sudah diserahterimakan pengelolaannya kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi. Sedangkan tanah tempat pembangunan musholla itu juga dibeli warga dari pengembang dan sudah lunas pembayarannya dari tahun 2017.
Sempat terjadinya mediasi antara pengembang dengan warga atas masalah yang ada. Namun dalam mediasi yang dilakukan bukan solusi yang didapat. Melainkan pengembang melakukan tuntutan kepada warga yang ditembuskan ke pihak Pengadilan Negeri Cikarang, Bekasi pada Rabu, 17 Februari 2021.
Rahman menjelaskan, dalam proses mediasi terakhir, pihak Sinarmas tidak fokus kepada persoalan wanprestasi yang menjadi materi utama gugatan mereka. Pengembang justru lebih fokus mengurusi mengenai substansi akidah dan ibadah umat muslim di Cluster Water Garden.
“Sebagai contoh, dalam draf perjanjian perdamaian yang disodorkan, pihak pengembang justru melarang musholla yang didirikan warga untuk dipergunakan sebagai tempat shalat Jumat. Di tempat itu, juga tidak boleh dikumandangkan adzan dengan pengeras suara dan dilaksanakan pengajian. “Ini sudah masuk dalam ranah menghalangi ibadah dan mengintervensi akidah kami sebagai seorang muslim. Ini sebuah pelanggaran serius,” tegas Rahman Kholid mewakili warga sekaligus Ketua Yayasan Al Muhajirin.
Sebaliknya, tuduhan wanprestasi yang selama ini digadang-gadang sama sekali tidak disentuh dalam proses mediasi. Pengembang juga seringkali mengubah kesepakatan yang telah dibuat dalam rangkaian mediasi sebelumnya. Hal ini karena sejak awal mediasi tidak dilakukan langsung oleh prinsipal Sinarmas yang secara hukum berhak mengambil keputusan.
“Atas berbagai indikasi itulah, warga menduga proses gugatan pengembang kepada warga muslim Cluster Water Garden sesungguhnya bukan disebabkan oleh wanprestasi. “Sejak awal memang ada upaya menghalangi warga untuk mendirikan musholla. Padahal, tempat ibadah ini sangat kami butuhkan mengingat jarak masjid terdekat dengan rumah warga saja mencapai tiga kilometer,” kata dia lagi.
Sebagai bagian dari legalitas pendirian Musholla Al Muhajirin juga telah memperoleh dukungan dan persetujuan hampir seluruh warga cluster, termasuk mereka yang beragama non-muslim dan berbagai elemen organisasi sesuai aturan yang berlaku. Proses perijinan sudah diurus semua dan sudah mendapatkan legalitas perijinan. Saat ini, warga sedang mengurus izin mendirikan bangunan (IMB) ke Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Bekasi.