JAKARTA, Panjimas – Berapa waktu lalu kita tentu masih ingat akan peristiwa terbunuhnya sekitar 6 orang nyawa manusia yang terjadi di sekitar KM 50 tol Jakarta Cikampek yang begitu menyita perhatian publik saat itu. Namun kita belum genap beberapa bulan kasus itu belum terungkap namun lokasi itu kini berubah menjadi rata dengan tanah.
Menurut Rizal Fadilah seorang Pemerhati Politik dan Kebangsaan dari Bandung hal itu harus menjadi pencermatan kita semua. Khususnya kepedulian kita terhadap rasa keadilan masyarakat dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjadi isu semua pihak untuk kebaikan negeri ini.
“Setelah pengosongan dari para pedagang di rest area KM 50 berlanjut perusakkan bangunan agar tak bisa digunakan, lalu penutupan bagi yang singgah, akhirnya bangunan itu kini seluruhnya telah diratakan dengan tanah. Habislah saksi bisu pembunuhan dan pembantaian enam anggota laskar FPI oleh aparat Kepolisian,” ujar Rizal Fadilah
Namun menurutnya, meskipun demikian sejarah akan tetap bisa lantang bercerita tentang kejahatan dan kebenaran. Secara fisik bangunan yang menjadi saksi mungkin hilang tetapi jejak tidak bisa. Terlalu terang peristiwanya, terlalu banyak saksinya, dan terlalu kentara rekayasanya. Biarlah semakin keras upaya menghapus, semakin sakit para pelaku dan pengatur kejahatan itu. Menghapus adalah wujud dari kegelisahan yang luar biasa.
“Secara hukum merusak dan menghilangkan barang bukti tentu berisiko. Seluruh dinding bangunan rest area Km 50 adalah bukti. Penyidikan belum dilakukan, merusak dan menghilangkan barang bukti sama dengan menghalangi penyidikan. Ini akan menjadi kasus tersendiri. Pasal 216 KUHP menghadang. Begitu juga dengan delik perusakannya yang terancam Pasal 233 KUHP. Lumayan ancamannya 4 tahun penjara,” ujarnya pada (21/2/2021)
Ada dua yang kelak bisa dibangun di area KM 50 setelah terkuak perbuatan pelanggaran HAM beratnya. “Pertama adalah “Monumen Enam Syuhada” sebagai peringatan atas kebengisan melawan ketidakberdayaan. Kedua “Museum HAM” ini lebih luas bukan saja peristiwa pelanggaran HAM atas enam laskar FPI tetapi banyak pelanggaran HAM lainnya,” katanya
KM 50 dan sekitar area Karawang adalah tempat strategis yang menjadi saksi sejarah perjuangan demokrasi, hak asasi, dan anti penjajahan politik. Temuan yang diduga proyektil di depan Masjid Al Ghammar Muhammadiyah Karawang Barat menandai awal drama kekerasan yang berujung syahid.
“Penghancuran rest area KM 50 menyedihkan dan memilukan. Bagian dari upaya untuk menghilangkan jejak, ingatan, dan pembuktian. Penghancuran ini menjadi bukti terbaru dari kejahatan yang terjadi. Perlu pengusutan siapa yang mengatur penghancuran rest area KM 50, apa motif politik, serta keterkaitan dengan laporan Komnas HAM dan instruksi Kapolri baru tentang “penyelesaian kasus” itu,” beber Rizal
Selanjutnya dia juga mengatakan kalau pengusutan harus cepat dimulai, bukankah rest area sudah diratakan tanah. Terlalu lama pelaku pembunuhan dibiarkan menghirup udara bebas, sementara aktor intelektual juga telah cukup waktu untuk berfikir keras agar dapat lolos dari jeratan hukum.
“Saatnya membuktikan kejujuran itu mampu mengalahkan kebohongan, keadilan dapat menggusur kezaliman, dan kekuasaan bertekuk lutut di bawah tajamnya pedang aturan hukum. Atau sebaliknya, sesungguhnya kita ini masih berada di alam mimpi tentang kisah-kisah yang baik-baik itu. Semoga saja tidak,” pungkasnya