SEMARANG (Panjimas.com) – Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024.
Pakar Sosiologi Hukum dan Filsafat Pancasila Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum memiliki pandangan tersendiri terkait Perpress Nomor 7 Tahun 2001 yang ditandangani Presiden pada 6 Januari 2021 lalu.
Perpress tersebut dinilai sebagai program lanjutan kabinet Indonesia Maju dalam “War On Terorisme” yang dikerjakan pada periode sebelumnya yang menuai keberhasilan, termasuk Prof. Suteki sendiri yang menjadi korban dengan diberhentikannya sebagai Ketua Program Studi (Prodi) Magister Ilmu Hukum, Ketua Senat Fakultas Hukum dan Anggota Senat Akademik Universitas Diponegoro Semarang karena usai menjadi saksi ahli dalam sidang gugatan Organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan judicial review di Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2017. Meskipun Ia sudah mengajar Ilmu Hukum dan Pancasila selama 24 tahun.
Menurutnya pembubaran HTI adalah salah satu kisah sukses dalam “War On Radikalisme”. Sedangkan dalam kerja Kabinet pada Periode kedua ini bagaimana perintah kepada Menag, Mendagri, Menpan RB yang disebut SKB 11 lembaga tinggi negara, Kapolri, BNPT, BIN , merupakam satu paket kelembagaan yang disediakan untuk memerangi terorisme atau radikalisme.
“Semula memang yang tinggi adalah terorisme tapi nampaknya agak diturunkan ke derajat yang lebih rendah itu yang kita sebut dengan radikalisme. Kayaknya waktu itu radikalisme itu dianggap sebahai cikal bakal terjadinya terorisme kan begitu. Lalu munculah ada SKB,ada SE, ada macem-macem,” kata Prof. Suteki dalam webinar yang disiarkan di kanal youtube PKAD atau Pusat Kajian dan Analisis Data pada Ahad (14/2/2021) lalu.
Menurut Prof. Suteki, Radikalisme termasuk juga ekstremisme yang tidak bisa berdiri. Radikalisme saling terkait dengan terorisme. Begitu juga ekstremisme yang tidak bisa berdiri sendiri dan dikaitkan dengan ekstremisme yang didasarkan dengan kekerasan yang mengarah pada terorisme. Namun demikian istilah “Radikalisme” dan “Ekstremisme” tidak pernah dirembug secara nasional untuk dijadikan sebagai delik baru.
“Gak bisa berdiri sendiri kenapa? karena jenis kelamin dua nomer kelantur ini tidak pernah dirembug secara nasional untuk dijadikan sebagai delik baru. Kami bicarakan dimana, di DPR dan Presiden sana di lembaga legislatif, lha ini mainnya antum di Perpres gitu lho lha ini kan berat disini padahal ini mau diterapkan untuk seluruh rakyat Indonesia,” katanya.
Menurutnya dua hal tersebut harus dimatangkan di ranah perancangan undang-undang yaitu dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan terutama di undang-undang, harus dijelaskan dahulu.
“Ketika ini kabur, obscure, lentur maka kedua istilah ini akan dipakai penguasa siapapun untuk memberangus, untuk mengurangi kebebasan atau bahkan untuk menyingkirkan lawan-lawan politik, gampang banget ini,” paparnya.
Prof. Suteki menduga munculnya SKB, SE, RUU dan lainnya tersebut merupakan legal frame atau kerangka hukum yang dijadikan alat untuk melancarkan proyek memerangi radikalisme yang pada akhirnya ditindaklanjuti dengan terbitnya SE, Menpan RB dan BKN yangmelarang ASN untuk berhubungan atau mendukung untuk menggunakan atribut sampai kerjasama dengan organisasi-organisasi yang dilarang atau dinyatakan dilarang, dibubarkan, dicabut badan hukumnya atau dilarang kegiatannya seperti HTI dan FPI.
“Kita sebut saja yang terlarang itu jelas namanya PKI, yang dicabut badan hukumnya HTI, yang dilarang kegiatannya, atributnya dan lain-lain adalah FPI. Jadi kalau kita lihat semacam itu akhirnya kita bisa melihat apakah SKB, SE atau apa namanya itu merupakan Roadmap pelumpuhan umat islam di Indonesia. Itu harus kita baca secara jeli disitu apakah itu memang betul merupakan roadmap bagaimana melumpuhkan umat islam di Indonesia,” jelasnya.