JAKARTA (Panjimas.com) – Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam laskar FPI Abdullah Hehamahua mengungkapkan bahwa pihaknya telah menyampaikan permohonan audiensi dengan Presiden Jokowi Widodo (Jokowi) untuk membahas kasus kematian enam warga sipil dalam Tragedi KM 50-pada 7 Desember 2020 lalu.
Jubir TP3 Laskar FPI Marwan Batubara menjelaskan bahwa surat tersebut diantar olehnya ke Istana melalui Sekretariat Negara. Namun karena pandemik dan tidak memiliki surat keterangan negatif covid, surat tersebut hanya dimasukkan ke dalam kotak pada Kamis (4/2/2021) sekitar pukul 10.30 lalu.
“Berdasarkan UU1945 baik pasal 28 B maupun 28 H dan berdasarka UU Komnas HAM atas setiap warga negara, setiap kelompok berhak untuk menyuarakan pendapat, melakukan kegiatan dalam menghadapi apa saja peristiwa baik kriminal biasa maupun kriminal luar biasa dalam hal pelanggaran terhadap HAM berat, maka itulah kemudian TP3 menyampaikan surat kepada Presiden,” tutur Abdullah Hehamahua dalam konferensi pers secara virtual yang diikuti Panjimas.com, Sabtu (6/2/2021).
Menurutnya hasil temuan Komnas HAM secara faktual dengan hasil temuannya bertentangan dengan kondisi objektif di lapangan. Sebab timnya telah mendapatkan informasi secara langsung dari keluarga 6 orang yang dibunuh oleh polisi ada pada 7 Desember 2020 lalu.
“Kami wawancara secara detail baik Bapak, Ibu, Paman, Saudara maka temuan yang dapat kami simpulkan sangat kontradiktif dengan apa yang ditemukan Komnas HAM,” paparnya.
UU Komnas HAM dinilai membatasi ruang gerak dari Komnas HAM itu sendiri sehingga tidak memiliki kewenangan melakukan penyidikan, namun hanya diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan sehingga temuannya hanya diserahkan kepada Presiden sebagai laporan dan kemudian kepada aparat penegak hukum dalam hal ini Polisi dan Kejaksaan.
Ketua TP3 Laskar FPI yang pernah menjabat sebagai penasehat KPK pada tahun 2005-2013 itu, berdasarkan pengalamannya sekian tahun, terdapat 15 kasus yang disampaikan oleh Komnas HAM namun 2 yang ditangani. Ia menegaskan bahwa 6 korban pembunuhan oleh aparat dalam insiden yang sering disebut tragedi berdarah KM-50 tersebut adalah warga sipil yang memiliki latar belakang pendidikan tamatan SD, SMP dan masih kuliah. Keenam korban tersebut adalah putra-putra dari keluarga miskin, sehingga menurutnya tidak mungkin terlibat dalam kegiatan membeli peluru, membeli senjata seperti yang dipersepsikan oleh polisi dan Komnas HAM bahwa ada tembak-menembak. Oleh karena itulah pihaknya ingin menyampaikan kepada Presiden secara langsung tanpa perantara.
Berdasarkan UUKepolisian, lembaga Kepolisian di era reformasi ini berada di bawah langsung Presiden. Sehingga TP3 Laskar FPI ingin menyampaikan hal yang sebenarnya kepada Presiden sebagai penanggung jawab Polisi, sebagai kepala pemerintahan dan sebagai kepala negara harus melakukan tindakan tegas, transparan, objektif.
“Kalau Presiden tidak menggunakan kewenangannya, sebagai kepala pemerintahan, sebagai kepala negara, sebagai pimpinan langsung polisi, saya kawatir kondisi semakin tidak kondusif,” tegasnya.
Dalam konferensi pers tersebut hadir pula Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Muhyiddin Junaidi, Advokat senior Wirawan Adnan, Wartawan senior Edy Mulyadi, Presiden KOMPI HM Mursalin, Ustaz Ansufri Idrus Sambo, Ustaz Bukhari Muslim dan lainnya.