SOLO (Panjimas.com) – Ada kisah memilukan sebelum terdakwa kasus Mertodranan dijatuhi vonis oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Semarang, Kamis (4/2/2021) kemarin.
Terdakwa bernama Surono yang pada saat insiden rumah Syi’ah di Mertodranan, Sabtu (8/8/2020) lalu, Ia menceritakan dalam nota pledoinya bahwa pada saat itu tidak melakukan sama sekali hal dituduhkan kepadanya.
Surono mendatangi lokasi kejadian bersama anaknya yang berusia 10 tahun pada pukul 17.15 karena informasi yang beredar adanya acara yang diduga perayaan Iedul Ghadir (acara Syi’ah). Di lokasi ia mendapati massa yang terus berdatangan yang berdiri di pertigaan.
Ketika terdengar adzan Maghrib, ia melaksanakan sholat di masjid dekat lokasi. Usai sholat ia saksikan jumlah massa semakin bertambah dan lampu penerangan jalan mati. Hingga menjelang adzan Isya’, ia baru pulang bersama anaknya.
Pasca kejadian tepatnya Rabu (19/8/2020), Surono ditangkap bersama terdakwa yang lain di sebuah rumah kost di Pedan Klaten oleh aparat. Tangannya diikat di belakang kemudian dimasukkan ke dalam mobil untuk diamankan ke Polsek Pedan.
Di Polsek Pedan, matanya dilakban kemudian dimasukkan ke dalam mobil dan dibawa ke suatu tempat yang tidak ia ketahui. Di sanalah ia diinterogasi dan disiksa untuk mengakui perbuatan yang menurutnya tidak pernah dilakukannya.
Setiap menjawab pertanyaan penyidik, ia langsung dipukul punggung, kepala, kaki, tangan, wajah dan bibirnya yang diduga menggunakan benda tumpul. Sampai saat ini bekas luka di punggungnya masih nampak menghitam karena dipukul berkali-kali hingga melepuh pada saat itu. Begitu pula organ tubuhnya yang lain yang nampak membekas akibat tindakan brutal dalam proses pemeriksaannya.
“Sebagian BAP itu ada yang diarahkan oleh petugas,” katanya.
Ia meminta kepada Majelis Hakim untuk mempertimbangkan atas rasa kemanusiaan dan keadilan yang berdasarkan Pancasila. Surono dan terdakwa Agus Nugroho dijatuhi vonis 8 Bulan, dipotong masa tahanan. Sebelumnya ia dituntut 15 bulan oleh JPU.