SOLO (Panjimas.com) – Agenda pembacaan nota pledoi atau pembelaan yang dilakukan para terdakwa kasus Mertodranan dilakukan di Rutan Surakarta Surakarta secara virtual pada Rabu (27/1/2021) kemarin. Ada pengakuan yang mengejutkan dari salah satu terdakwa bernama Budi Doyo.
Terdakwa ditangkap pada 9 Agustus 2020 atau sehari setelah kejadian tanggal 8 Agustus 2020. Dalam pengakuannya, pada siang hari sebelum insiden ia sedang melakukan kerja bakti di Ponpes Darul Hijrah, kemudian pulang di sore hari. Setibanya di rumah, Budi Doyo mendapati pesan di grup Whatsapp bahwa ada pembubaran acara Syi’ah di Mertodranan, kemudian ia mendatangi lokasi pada pukul 17.30 WIB.
Sampai di lokasi, Budi Doyo berusaha masuk ke rumah yang diduga menyelenggarakan acara Syi’ah tersebut untuk memastikan acara apa yang tengah berlangsung sebenarnya, namun pintu ditutup rapat, ia tidak mendapat akses masuk. Ketua RT setempat menyatakan bahwa ada acara keluarga. Merasa terhalangi, Budi Doyo bersama rekan yang lain menunggu di depan gang.
Budi Doyo meninggalkan lokasi saat terdengar adzan Maghrib berkumandang, ia dan ketua RT melaksanakan sholat di masjid terdekat. Usai sholat Maghrib, ia kembali ke lokasi dan mendapati massa yang hadir semakin bertambah banyak. Kapolresta Surakarta Andy Rifai yang menjabat saat itu pun hadir ke lokasi. Andy Rifai meminta perwakilan masa untuk berdialog dan Budi Doyo sebagai perwakilan mendapatkan penjelasan bahwa acara yang tengah berlangsung di dalam rumah adalah acara keluarga. Mendengar pernyataan tersebut, Budi Doyo kemudian mencari S untuk menjelaskan perihal pernyataan Kapolres. Namun usahanya mencari S tidak berhasil, ia justru mendengar suara takbir yang diikuti oleh suara teriakan massa yang berbunyi “Allahu Akbar, Syiah sesat, Syiah laknatullah bakar-bakar” yang ternyata di komandoi oleh S. Di lokasi tersebut, S mengultimatum bahwasanya memberikan waktu 15 menit kepada Kapolres untuk membubarkan acara tersebut, jika tidak dibubarkan akan dibubarkan dengan caranya sendiri.
Kapolres kemudian masuk ke dalam rumah untuk mengevakuasi orang-orang yang berada di dalamnya. Saat evakuasi tersebut, Budi Doyo sempat menghimbau kepada massa yang lain untuk membuka jalan agar mobil bisa lewat dan meminta agar tidak melakukan tindak anarkis. Namun massa yang tidak dikenalinya karena memakai cadar dan kondisi lokasi yang gelap, beberapa terdengar menggebrak mobil. Saat itu terdapat 3 mobil dan 2 motor yang keluar. Massa kemudian meninggalkan lokasi menjelang Isya’.
Esok harinya Budi Doyo ditangkap oleh aparat pada Ahad (9/8/2020) ba’da Maghrib di rumahnya. Ia menanyakan kesalahan apa yang diperbuat, namun oleh aparat akan dijelaskan di kantor.
Sesampai di kantor Polresta Surakarta, mata Budi dilakban dan dihajar untuk mengakui perbuatan yang dirasa tidak dilakukannya sehingga menyebabkan kakinya mengalami pincang selama dua pekan.
“Yang saya rasakan jempol kaki kanan kiri dipukul seperti pakai palu besi yang kecil, mata kaki kanan kiri juga dipukul seperti pakai palu besi yang kecil, dengkul saya yang kanan kiri juga dipukul seperti pakai palu besi yang kecil, dengkul saya yang sebelah kiri sampai bengkak biru dan saya jalan pincang sampai dua minggu, wajah saya digampar dan jadi bengkak biru,” paparnya.
“Sambil menghajar mereka mengatakan “akonono”, “nuruto” mengko tak bantu dan saya disuruh mengakui perbuatan yang tidak pernah saya lakukan. “Kowe to seng ngultimatum Kapolres”! “Kowe to seng ngomong, yen ra bubar, mau dibubarkan dengan cara saya sendiri!” “Kowe to sek bengok – bengok syiah kafir, syiah laknattullah, syiah sesat dan siap jihad”! Padahal kata – kata tersebut diatas yang mengatakan S,” sambungnya.
Hari berikutnya, Budi Doyo mengaku dihajar di ruang Satreskrim Polresta Surakarta, termasuk Kasat Reskrim juga melakukan kekerasan terhadapnya.
“Saya dihajar diruangannya, pertama saya masuk ruangannya saya dilempar kaleng bekas biskuit. Sambil teriak “goro – goro kowe duitku entek” lalu lanjut dipukulinya dada saya beberapa kali sampai saya sesak nafas. Waktu itu ada dua saksi yang mendengar jeritan kesakitan saya yaitu Saudara A dan S,” tuturnya.
Dalam pledoinya tersebut, Budi Doyo menyangkal dan menolak dakwaan yang dibacakan oleh jaksa penuntut umum karena dakwaan yang dibacakan tidak sesuai dengan kejadian yang sebenarnya dan tidak sesuai fakta otentik.
Ia menyatakan menolak dakwaan dari jaksa sepenuhnya dan meminta majelis hakim untuk dapat membebaskannya dari tuntutan, karena Ia merasa tidak bersalah.