SOLO (Panjimas.com) – Perpres Nomor 7 Tahun 2021 pada akhirnya menuai polemik. Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H memberikan tanggapan atas perpres yang usai diteken Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Penulis Buku Terorisme Dalam Demokrasi jilid 1 dan 2 tersebut menjelaskan bahwa asas praduga tak bersalah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Dalam KUHAP, asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf C yaitu :
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”
Sedangkan dalam UU Kehakiman, Asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi :
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”
Dr. Taufiq mengutip salah satu buku yang membahas mengenai asas praduga tak bersalah yang ada di dalam sebuah karya hakim agung M Yahya Harahap “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan”.
“Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap,” kutipnya.
Dr. Taufiq menyimpulkan bahwa Perpres No.7 Tahun 2021 tersebut dinilai menabrak norma hukum positif yang dianut di semua negara dan berpotensi menimbulkan konflik horizontal karena memberikan warga ruang untuk memfitnah tetangganya.