SOLO (Panjimas.com) – Pembekukan rekening FPI yang berisi puluhan juta dana umat Islam seiring dibubarkannya FPI pada Rabu (30/12/2020) lalu secara sepihak disebut sebagai tindak pidana penggelapan atau korupsi. Hal itu disampaikan oleh peneliti senior Judicial Corruption Watch (JCW) Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H.
“Siapapun yang menghilangkan uang FPI kalau itu bank bisa dikenakan pasal penggelapan dalam jabatan 374 KUHP ancamannya 6 tahun, kalau itu aparatur negara bisa dikenakan pasal korupsi, kenapa pasal korupsi? Karena itu uang yang sah, belum ada putusan pengadilan yang menyatakan uang itu tidak sah,” tutur Dr. Taufiq kepada Panjimas.com pada senin (4/1/2021).
Menurutnya ada beberapa langkah hukum yang harus dilakukan tim hukum Front Pembela Islam mulai dari mengklarifikasi kepada bank dimana rekening tersebut digunakan untuk menyimpan segala transaksi keuangan FPI kemudian mengajukan gugatan.
“Setelah ada klarifikasi nanti kan ada jawaban yang memblokir siapa. Lha yang memblokir itu digugat. Yang digugat adalah pihak yang memerintahkan blokir, kemudian Bank Indonesia dan bank dimana itu disimpan,” katanya.
Gugatannya yang Ia maksud adalah gugatan perbuatan melawan hukum, dikarenakan belum adanya putusan pengadilan yang memutuskan uang tersebut harus diambil atau dibekukan.
“Mulai terbuka sekarang, bahwa semua ahli tata negara atau ahli hukum mengatakan pembubaran itu tidak sah, karena tidak sah tidak lewat mekanisme pengadilan ya nggak ada hak dari siapapun membekukan lebih-lebih mengambil. Itu cara-cara jahat cara-cara tidak beradab dan harus dikoreksi lewat pengadilan,” pungkasnya.