SUKOHARJO (Panjimas.com) – Kasus yang menyangkut salah satu calon Bupati Sukoharjo 2020, Etik Suryani, terkait dengan orasinya saat berkampanye di Gumpang, Kartasura, Sukoharjo pada Sabtu (28/11) lalu, diduga telah melakukan penistaan agama karena telah menyinggung soal pemakaian kerudung panjang seperti yang viral di media sosial.
Beberapa waktu lalu, enam elemen masyarakat melaporkan Etik Suryani Ke Polres Sukoharjo, namun laporan tersebut dialihkan ke Bawaslu karena dianggap sebagai laporan tindak pelanggaran pemilu.
Ketua Tim Advokasi Reaksi Cepat (TARC) Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H menanggapi kasus tersebut tidak dalam tindak pidana pemilu.
“Penistaan agama tidak termasuk dalam tindak pidana pemilu. Sesuai dengan Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan dan Pemilihan Umum, tindak pidana pemilu umum yang selanjutnya disebut tindak pidana pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tengang Pemilihan Umum,” katanya kepada Wartawan pada Jum’at (4/12/2020)
Menurut Pakar Hukum asal Kota Solo ini menyebutkan 9 Jenis Tindak Pemilu yang terkandung dalam UU No 7 tahun 2017 diantaranya :
1. Memberikan keterangan tidak benar dalam pengisian data diri daftar pemilih;
2. Kepada desa yang melakukan tindakan menguntukan adatau merugikan peserta pemilu;
3. Orang yang mengacaukan, menghalang, atau mengganggu jalannya kampanye pemilu;
4. Orang yang melakukan kampanye pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan KPU;
5. Pelaksana kampanye pemilu yang melakukan pelanggaran larangan kampanye;
6. Memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye pemilu;
7. Menyebab orang lain kehilangan hak pilihnya;
8. Menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan;
9. Memberikan suaranya lebih dari satu kali.
Dr. Taufiq menegaskan, ketentuan UU diatas tidak terkait dengan penistaan agama, artinya kasus yang dilakukan Etik Suryani tersebut adalah merupakan delik biasa, bukan merupakan delik pemilu yang setelah proses pemilu berakhir, kepolisian tetap harus memproses aduan yang sudah diajukan tersebut.
“Dalam ketentuan undang-undang tersebut tidak adanya hal yang terkait dengan penistaan agama, namun penistaan agama merupakan delik biasa yang tetap bisa diproses secara hukum namun tidak merupakan delik pemilu. Setelah berakhirnya proses pemilu kepolisian tetap harus memproses aduan,” ungkap Taufiq.
Ketua TARC tersebut menyatakan Bawaslu tidak memiliki kompetensi atau wewenang untuk menindak kasus penistaan agama.
“Hari ini terjawab sudah kalau ada laporan kepolisian menolak dengan alasan pemilu, lha saya mau tanya, pada saat kampanye pemilu motornya hilang, lapornya ke bawaslu? Emang punya duit Bawaslu? Bawaslu ndak punya kompetensi!,” katanya.