JAKARTA (Panjimas.com) – Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Yaqut Cholil Qoumas meminta sejumlah pihak jangan sekadar melakukan penolakan atas pembukaan kembali layanan “calling visa” bagi delapan negara, termasuk Israel, namun harus lebih komprehensif memahaminya.
“Jangan asal komentar, asal tolak, jangan sekadar gaduh saja main tolak. ‘calling visa’, kan, kebijakan terkait keimigrasian biasa di suatu negara,” kata Gus Yaqut, sapaan akrabnya, dalam pernyataan tertulis, di Jakarta, Rabu (2/12/2020).
Kebijakan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang kembali membuka layanan calling visa bagi delapan negara, termasuk Israel, menuai kontroversi.
Namun, Gus Yaqut meminta masyarakat untuk mencermati latar belakang kebijakan tersebut diterbitkan, sehingga lebih komprehensif dalam menyikapinya, dan tidak asal menolak.
“Apalagi, kemudian mengaitkan pembukaan ‘calling visa’ ini dengan rencana membuka hubungan diplomatik dengan Israel atau ini pengkhianatan kepada Palestina. Ini terlalu jauh,” ujarnya pula.
Menurut dia, tidak mungkin Pemerintah Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Sebab, ujar dia, kebijakan politik luar negeri Indonesia selama ini sudah jelas, yakni selama Palestina belum seutuhnya merdeka dan berdaulat, maka selama itu pula tidak akan ada hubungan diplomatik dengan Israel.
“Sangat ‘clear’. Komitmen Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina tetap seutuhnya tidak berubah. Seperti harapan ‘founding fathers’, tidak ada satu keraguan pun untuk mendukung kemerdekaan penuh Palestina,” ujarnya lagi.
Gus Yaqut mengingatkan bahwa pemberian “calling visa” kepada WNA Israel sebenarnya telah diberikan sejak 2012 berdasarkan Permenkumham Nomor M.HH-01.GR.01.06 Tahun 2012.
Disebutkannya juga, negara “calling visa” adalah negara yang memiliki kondisi dengan tingkat kerawanan tertentu, baik dari aspek ideologi, politik, ekonomi, budaya, pertahanan hingga keamanan negaranya.
Selain Israel, negara lainnya adalah Afghanistan, Guinea, Korea Utara, Kamerun, Liberia, Nigeria, dan Somalia. Layanan “calling visa” bisa diberikan untuk negara-negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik.
“Sudah sangat jelas disebutkan Kemenkumham, ‘calling visa’ itu untuk mengakomodasi hak-hak kemanusiaan, seperti pasangan kawin campur, ada juga terkait bisnis, investasi, atau pun bekerja. Itu pun tidak gampang. Diperlukan pemeriksaan dan syarat sangat ketat sebelum mengeluarkan visa. Jadi, tidak asal disetujui,” katanya lagi.
Untuk diketahui, sebelumnya Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 2020-2025, Anwar Abbas, menyoroti pembukaan pelayanan calling visa bagi Warga Negara Asing asal Israel.
Menurut Abbas, pelayanan calling visa untuk WNA Israel bertentangan dengan arah politik luar negeri Indonesia, yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945.
“Pemerintah mau kemanakan prinsip politik luar negeri yang telah diletakkan oleh para pendiri negeri ini, yang sudah kita sepakati untuk menjadi jiwa dan roh dari konstitusi negeri ini, seperti yang terdapat pada alinea pertama pembukaan UUD 1945,” ujar Abbas, di Jakarta, Ahad (29/11/2020).
Lebih lanjut, dia mengatakan tidak mempermasalahkan pemberian pelayanan calling visa untuk warga negara asing yang kondisi atau keadaan negaranya dinilai mempunyai tingkat kerawanan tertentu ditinjau dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan negara, dan aspek keimigrasian.
“Afghanistan, Guinea, Korea Utara, Kamerun, Liberia, Somalia, dan Nigeria, menurut saya tidak ada masalah karena tidak ada yang dilakukan negara tersebut yang bertentangan dengan konstitusi kita. Tapi kalau calling visa itu untuk warga negara Israel, bagi saya hal itu jelas bermasalah,” kata Abbas.
Masalah utamanya, kata dia, karena Israel kerap menjadi negara yang memulai perang dan itu sangat bertentangan dengan Indonesia yang ingin menghapuskan penjajahan di atas dunia dengan menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan.
“Negara Israel itu negara penjajah yang telah teramat banyak melakukan tindakan yang sangat bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Sehingga rakyat Palestina, saudara kita yang setia, telah kehilangan tanah airnya dan kehilangan kedaulatannya sebagai individu, sebagai warga negara, dan sebagai bangsa,” kata dia. [AW/Antara]