Patut dipahami bahwa salah satu kewajiban rumah sakit adalah menghormati dan melindungi hak-hak pasien.[7] Pelanggaran atas kewajiban rumah sakit akan dikenakan sanksi admisnistratif berupa teguran, teguran tertulis, atau denda dan pencabutan izin rumah sakit.[8]
Sehingga, jika rumah sakit tidak melindungi identitas pasiennya yang positif COVID-19, maka rumah sakit dapat dikenai sanksi administratif tersebut.
Dalam hal pelaku penyebaran identitas pasien di atas adalah dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban dalam Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 51 huruf c UU 29/2004, maka dapat dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp50 juta berdasarkan Pasal 79 huruf b dan c UU 29/2004 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-V/2007 (hal. 120).
Di samping itu, bagi badan publik yang melanggar berlaku Pasal 54 ayat (1) UU KIP:
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
• Orang yang dimaksud adalah orang perseorangan, kelompok orang, badan hukum, atau badan publik.[9]
• Badan publik yang dimaksud adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“APBN”) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (“APBD”), atau organisasi non pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.[10]
Sehingga kami berpendapat, terhadap rumah sakit yang menyebarkan identitas pasien COVID-19, dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana tertera di atas sepanjang memenuhi kriteria “badan publik” tersebut.
Dalam artikel Perlindungan Hukum atas Privasi dan Data Pribadi Masyarakat, diterangkan bahwa penyebaran data pribadi seseorang oleh orang lain, secara khusus melalui sistem elektronik, dilarang tanpa persetujuan si pemilik data dan jika melanggar, maka penyebar data pribadi tersebut dapat digugat secara perdata oleh pihak yang merasa dirugikan dengan penyebaran data pribadi tersebut.
Menurut hemat kami, dalam hal di mana bukan pihak rumah sakit yang menyebarkan identitas pasien tersebut, maka penyebar identitas dapat digugat secara perdata oleh pihak pasien.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik;
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Kesehatan;
4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-V/2007.