Saksi Kekejaman PKI : Drs. HM Sungkar : Adik Keponakan Saya Dibunuh, Ditusuk Dari Leher Tembus Sampai Kepalanya
SOLO (Panjimas.com) – Malam penuh kisah pilu tentang pergolakan Komunis di Kota Solo pada tahun 1965, dikenang dalam acara “Renungan Malam 55 Tahun Yang Lalu Tentang Tragedi Pembantaian Berdarah 22 Oktober 1965 Terhadap 23 Pemuda di Solo oleh PKI”. Malam renungan ini diselenggarakan di gedung Bakorwil atau Graha Surakarta pada Kamis malam (22/10).
Meski hadirin dihidangkan makanan dan minuman dalam acara malam itu, namun hanya sedikit hadirin yang membuka untuk menikmatinya. Hadirin lebih memilih memasang telinga dan mendengar kisah yang membuat tertegun. Serasa kembali ke masa lalu yang mencekam, simpatik, dan terbawa alur kisah salah satu tokoh keturunan Arab yang menjadi saksi hidup kekejaman PKI di hari yang kelam di tahun 1965.
Drs. HM Sungkar namanya, memulai cerita perjalanannya dari Yogyakarta ke Solo mengendarai mobil. Ketika sampai di Prambanan, ia dicegat oleh rombongan Pemuda Rakyat (PKI). Usia Sungkar baru 22 tahun kala itu.
“Usia saya 22 Tahun, saya datang di kota Solo malam tanggal 22 Oktober 1965, saya ingat betul harinya Jum’at, sampai di kota Solo, karena berkendaraan mobil, antara jam 22.00 sampai jam 23.00 malam, kami sampai di Prambanan dicegat rombongan pemuda rakyat, yang menghadang masuknya tentara RPKAD sepanjang jalan mau masuk di Prambanan,” tuturnya.
Saat itu Pemuda Rakyat memberitahukan kepadanya bahwa tidak bisa masuk ke Solo karena banyak ditebanginya pohon di sepanjang jalan.
“Bapak-bapak tidak bisa berangkat ke Solo karena sudah kami tebangi pohon,” kata Drs. HM Sungkar menirukan perkataan pasukan Pemuda Rakyat.
Benar adanya, saat Drs. HM Sungkar muda berhasil menerobos barikade Pemuda Rakyat banyak pohon yang ditebang menghalangi perjalanannya, sehingga sempat dihadang lagi oleh Pemuda Rakyat.
“Jadi saat kami masuk ke Solo sudah banyak pohon-pohon yang ditebang, dihadang oleh kerumunan pemuda rakyat. Ketika itu secara kebetulan kami bawa botol kecap “Korma” buatan Pasar Kliwon, malah jadi masalah bagi kami, karena dianggap kami akan ikut gerakan anak-anak Muslim di kota Solo, akhirnya botol-botol itu diminta, kami tinggalkan, kami berangkat,” kenangnya.
Saat tiba di Solo, situasinya memanas, banyak korban berjatuhan. Ia akhirnya mencari keberadaan adiknya yang merupakan anggota Pelajar Islam Indonesia (PII).
“Sampai di kota Solo malam Sabtu kurang lebih jam 1.30, kami melihat di kota Solo sudah mulai bakar-bakaran, lalu saya pulang sampai dirumah, saya menanyakan adik saya Novel Ali, adik saya waktu itu anggota PII,” katanya.
Hingga jam 2 pagi pencarian adik tercintanya belum juga ditemukan. Kemudian ia mencari kakaknya, saat baru pulang ia mendapat cerita kakaknya sempat terkena tembakan. “Waduh tadi aku ketembak, tapi tidak papa hanya kesrempet saja,” kata Sungkar menirukan ucapan kakaknya.
Tak putus asa mencari adiknya, Drs. HM Sungkar mencarinya ke kamar mati di sebuah Rumah Sakit di Kota Solo, karena mendapatkan informasi banyaknya mayat korban ada disana.
“Subuh kurang lebih jam 6 pagi 23 Oktober 65, saya mendapat keterangan dari beberapa teman nampaknya ada mayat-mayat di beberapa kamar mati, setelah mendapat kepastian bahwa memang ada mayat di kamar mati, saya dengan beberapa teman itu langsung berangkat ke kamar mati Rumah Sakit Moewardi, dulu kamar matinya adanya paling belakang,” katanya.
Drs. HM Sungkar beserta teman-temannya berangkat ke kamar mati atau kamar mayat di RS Moewardi, mendapati pemandangan yang membuatnya menangis sekaligus geram.
“Kami masuk disana, dan saat itu menangis, karena saya melihat beberapa anak muda, salah satunya adik keponakan saya namanya Salim Ahmad Sungkar yang aktif organisasi anak-anak muda sekolah, usianya sekitar 14 tahun, itu coba bayangkan saya melihat dengan pasti, dibunuh, ditusuk dari leher tembus sampai di kepalanya, bagaimana saya ketika itu tidak marah,” ceritanya sambil sesenggukan mengenang adiknya.
Tak hanya adik keponakannya yang mengenaskan, Drs. HM Sungkar menyaksikan jenazah yang lain yang lebih memilukan.
“Lalu saya melihat beberapa anak lagi, coba bayangkan, kemaluannya dipotong ditaruh di sabuk, anak yang masih muda, begitu kejam mereka melaksanakan pembunuhan itu,” geramnya.
Ia hendak mengambil jenazah dua anak dari Pasar Kliwon (Kampung Arab di kota Solo), namun tak mudah, karena penjagaan ketat oleh kepolisian dan pihak rumah sakit.
“Jam 11.00 siang, karena saya melihat ada dua anak dari Pasar Kliwon yaitu Salim dan Alwi Assegaf, saya tidak berani mengambil jenazah adik saya Salim itu, karena tidak punya kewenangan untuk mengambil jenazah, di Rumah Sakit itu hanya diperbolehkan kalau yang betul-betul saudaranya, dan nampaknya memang dijaga ketat waktu itu oleh kepolisian dan pihak Rumah Sakit”, katanya.
Setelah negoisasi, Drs. HM Sungkar dapat membawa adik keponakannya tersebut.
“Jenazah adik saya Salim ini kami bawa mungkin jam 1 siang, ketika itu jalan sepi sekali, kalau saya bilang kotanya-kota mayit,” kata Drs. HM Sungkar panjang lebar menceritak kisahnya.
Kisahnya belum berhenti disitu, Drs. HM Sungkar didepan hadirin menceritakan sosok yang ia kenal dibalik rentetan pembantaian aktivis dan anak Pasar Kliwon yang bertugas mencatat daftar target yang akan dibunuh oleh PKI. Seseorang yang memiliki cacat fisik bernama Karno Gejik.
Karno Gejik adalah anggota PKI yang bertugas mencatat nama-nama orang Pasar Kliwon yang akan dibunuh. Tiga hari sebelum kejadian pembantaian 22 Oktober 1965, Karno Gejik terlihat di Pasar Kliwon sedang mencatat nama orang-orang yang menjadi target.
“Dua hari atau tiga hari sebelum tanggal 22 Oktober, dia itu datang ke Pasar Kliwon mencatat nama orang-orang yang akan dibunuh”, kisahnya.
Golongan para Habaib dan tokoh-tokoh Al Irsyad sudah dicatat oleh Karno Gejik.
Menutup cerita malam itu, HM Sungkar meminta para hadirin jangan melupakan sejarah kekejaman PKI.[RN/AZ]