JAKARTA (Panjimas.com) – Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) Munarman menilai pemerintah era Presiden Joko Widodo (Jokowi) amat memerhatikan sisi propaganda setelah muncul temuan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Adapun temuan ICW yang dimaksud yakni gelontorkan dana hampir sebesar Rp 90,45 miliar dari pemerintah untuk keperluan sosialisasi kebijakan melalui jasa influencer atau tokoh berpengaruh.
“Itu bukti bahwa propaganda menjadi pilar utama yang menopang rezim saat ini. Influencer itu sesungguhnya berperan sebagai propagandis dalam politik kekuasaan,” kata Munarman dalam pesan singkatnya kepada jpnn, Sabtu (22/8).
Menurut Munarman, sesungguhnya rezim secara substansi gagal dalam mengelola negara ketika menjadikan propaganda sebagai instrumen utama.
“Rezim yang menjadikan propaganda sebagai instrumen dalam menegakkan kekuasaannya sesungguhnya rezim yang secara substansi gagal dalam mengelola negara, karenanya membutuhkan propagandis untuk menampilkan citra keberhasilan,” ungkap Munarman.
Selain gagal mengelola negara, kata Munarman, rezim yang mementingkan propaganda biasanya bersifat otoriter atau totaliter. Bagi rezim otoriter atau totaliter, ilmu pengetahuan menjadi tidak penting dan tidak berarti.
“Mereka hanya mementingkan bagaimana caranya berkuasa melalui sarana propaganda yang dilakukan oleh para para propagandisnya atau influencer,” pungkas Munarman.
Sebelumnya, peneliti ICW Egi Primayogha mengatakan pemerintah pusat telah menggelontorkan dana mencapai Rp 90,45 miliar hanya untuk influencer sejak 2014. Data ini diambil ICW dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
Namun, total anggaran belanja pemerintah pusat terkait aktivitas digital adalah Rp 1,29 triliun sejak 2014. Kenaikan signifikan terjadi dari 2016 ke 2017.
Pada 2016, anggaran untuk aktivitas digital hanya Rp 606 juta untuk 1 paket pengadaan saja. Namun pada 2017, angka paketnya melonjak menjadi 24 dengan total anggaran Rp 535,9 miliar.
“Karena kami tak lihat dokumen anggaran, dan LPSE itu terbatas, maka tak menutup kemungkinan ini secara jumlah sebenarnya lebih besar. Bisa jadi lebih besar dari Rp 1,29 triliun, apalagi jika ditambah pemerintah daerah,” kata Egi.
Egi mengatakan, instansi yang paling banyak melakukan aktivitas digital adalah Kementerian Pariwisata dengan pengadaan 44 paket, disusul oleh Kementerian Keuangan dengan 17 paket, lalu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan 14 paket.
Anggaran terbesar untuk aktivitas digital justru adalah Kepolisian RI. Memang jumlah paket pengadaannya lebih sedikit dibanding Kementerian Pariwisata, tetapi nilai pengadaan mencapai Rp 937 miliar. [AW/jpnn]