JEDDAH (Panjimas.com) – Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah konsisten menindaklanjuti berbagai aduan terkait permalasahan yang dialami pekerja migran Indonesia (PMI) di wilayah kerjanya. Salah satunya adalah persoalan gaji yang dikemplang oleh pengguna jasa.
Sepanjang periode Januari-Juli 2018, Tim Pelayanan dan Pelindungan (Yanlin) KJRI Jeddah berhasil mengupayakan pencairan gaji PMI yang umumnya bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART). Besarannya mencapai 2.079.883 riyal Saudi atau sekitar 7,6 miliar rupiah.
Besaran gaji tersebut merupakan hak dari 105 PMI yang dikemplang pengguna jasa yang nakal dengan rentang waktu dan besaran gaji yang bervariasi. Masa tunggakan terlama adalah 15 tahun.
Konsul Jenderal (Konjen) RI Jeddah Mohamad Hery Saripudin menyebutkan, tunggakan upah yang menumpuk membuat pengguna jasa mencari cara supaya dia terhindar dari kewajiban membayar upah bulanan bagi pekerjanya.
“Ada yang nyuruh pembantunya cap jempol atau tanda tangan. Padahal pembantu tidak mengerti isinya. Ada pula yang melaporkan pekerjanya kabur, sehingga dia tidak perlu bayar gajinya setelah pekerjanya itu dideportasi. Macam-macam. Tapi, tetap kami kejar dia sampai bayar,” tegas Konjen Hery.
Ditambahkan Konjen, pengurusan gaji menjadi rumit di pengadilan dan maktab amal (kantor tenaga kerja) ketika PMI menandatangani atau membubuhkan cap jempol pada lembaran yang dia sendiri tidak mengerti isinya. Ternyata terungkap kemudian kertas tersebut berisi pernyataan serah-terima gaji.
Meski demikian, KJRI Jeddah mengapresiasi kecermatan, ketelitian dan kerja sama baik dari instansi berwenang di Arab Saudi yang telah berupaya mengungkap fakta terkait permasalahan gaji meskipun harus melalui beberapa tahapan sidang yang berbelit-belit.
Permasalahan tersebut diamini oleh Konsul Tenaga Kerja Mochamad Yusuf yang kesehariannya berjibaku dengan berbagai permasalahan yang mendera PMI. Mulai dari persoalan gaji tak dibayar, nilai upah yang tidak sesuai kontrak, masa kerja melebihi kontrak dan tidak dipulangkan.
“Kalau bahasa lisan, mereka sudah paham. Tapi ketika harus menandatangani sesuatu atau membubuhkan cap jempol atas permintaan majikan, dia tidak tahu itu isinya apa. Ini yang membuat proses persidangan di pengadilan dan maktab amal (kantor tenaga kerja) jadi berbelit-belit” terang Yusuf.
Namun, imbuh Yusuf, ketika diwawancarai dalam sesi berita acara pemeriksaan (BAP) oleh petugas, PMI tadi mengaku belum digaji oleh pengguna jasa hingga tahunan lamanya.
KJRI memberlakukan SOP wawancara dengan pemohon pelayanan di ruang khusus, tanpa kehadiran atau pendampingan pengguna jasa atau pihak yang mewakilinya.
Pascamoratorium pengiriman PMI tak-berkeahlian (unskilled), supir rumahan dan asisten rumah tangga, permasalahan masih saja bermunculan. Tidak sedikit WNI perempuan yang direkrut perusahaan untuk bekerja sebagai tenaga kebersihan di kantor-kantor dan instansi di Arab Saudi,tapi kemudian disalurkan ke sektor rumah tangga.
Sebagian mereka diberangkatkan dengan visa ziarah (kunjungan) tapi diberikan iqamah (kartu izin menetap dan bekerja). Tidak betah karena merasa tertekan dengan beban pekerjaan dan besaran upah tidak sesuai kesepakatan, mereka memilih kabur ke KJRI. [AW]