JAKARTA (Panjimas.com) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mendesak penghapusan seluruh pasal karet dalam UU ITE dan KUHP yang selama ini digunakan untuk mengkriminalisasi para pejuang HAM, termasuk para jurnalis.
Hal itu diungkapkan langsung oleh Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani Amri, pada Kamis (7/3), guna menyikapi status tersangka yang diberikan kepolisian terhadap dosen sekaligus aktivis HAM, Robertus Robet.
Sebelumnya, AJI juga mengecam keras penetapan tersangka Robertus Robet terkait dengan orasinya dalam aksi damai Kamisan, 28 Februari 2019.
Asnil Bambani menilai tuduhan bahwa Robet melakukan tindak pidana penyebaran ujaran kebencian berbau suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), hoaks, serta penghinaan terhadap penguasa salah alamat.
Menurutnya, orasi yang disampaikan Robet dalam aksi Kamisan merupakan kebebasan berekspresi warga negara yang dijamin konstitusi, seperti tertuang pada UUD 1945 pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
“Penyampaian pendapat di muka umum adalah bagian dari hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia,” kata Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani Amri, Kamis.
AJI menilai, orasi Robet juga tak memiliki unsur penghinaan terhadap institusi TNI. Kritik Robet terhadap rencana pemerintah menempatkan kembali prajurit aktif TNI di jabatan sipil, dijamin oleh perundang-undangan.
Penangkapan Robet ini menunjukkan rezim saat ini tidak ada bedanya dengan rezim Orde Baru yang represif, mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat.
“Kepolisian harus mencabut penetapan tersangka Robertus Robet demi hukum dan keadilan. Hentikan proses hukum terhadap Robet,” tegas Asnil.
“Kami mendesak penghapusan seluruh pasal karet dalam UU ITE dan KUHP yang kerap digunakan untuk mengkriminalisasi para pejuang HAM, termasuk para jurnalis,” kata dia.
Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri mengatakan dua dekade setelah reformasi, alih-alih berkembang dengan baik, ruang demokrasi di Indonesia justru mengalami defisit luar biasa. Kebebasan berekspresi dibatasi; aktivis, mahasiswa, bahkan petani direpresi.
Semisalpun tidak setuju dengan kritik itu, sebaiknya TNI tidak menggunakan pendekatan represif. Melainkan lewat gagasan dan narasi konstruktif.
Penangkapan Robet merupakan preseden buruk bagi pembela HAM ke depan. “Perlu ada advokasi serius sehingga kasus yang dialami teman-teman yang mengadvokasi tidak berulang,” kata Ghufron.
Ghufron juga menekankan pentingnya mendorong legislatif agar menghapus pasal-pasal karet yang mengancam kebebasan masyarakat sipil.
Kepala Bidang Penanganan Kasus LBH Pers Gading Yonggar menekankan dua hal penting terkait penangkapan Robet. Pertama, setelah reformasi ekosistem regulasi di Indonesia tak juga membaik, khususnya soal kebebasan berekspresi dan berpendapat. Ekosistem itu masih memungkinkan adanya tindakan represif lewat pasal-pasal karet yang bisa menjadi senjata pihak-pihak tertentu untuk membungkam kebebasan berekspresi.
Kedua, lanjut Gading, ada kejanggalan dari penerapan hukum acara. Idealnya, polisi melayangkan surat panggilan terlebih dahulu.
“Namun Robet langsung ditangkap begitu saja, tengah malam pula,” kata Gading.
Gading menekankan bahwa kebebasan berekspresi merupakan hak dasar yang melekat pada setiap warga negara sejak lahir. Tugas pemerintah serharusnya menjaga dan melindungi hak itu, bukan malah melakukan tindakan represif. [DP]