Jakarta (Panjimas.com) – “Kafir itu istilah dalam Al Quran untuk menyebut orang yang tidak beriman kepada Allah sebagai Tuhan. Sedangkan orang yang hanya mengaku beriman, tapi hakikat nya tidak beriman diistilahkan dengan munafik.”
Demikian dikatakan Ustaz Ahmad Yani, Ketua Departemen Dakwah, Ukhuwah dan Sumberdaya Keumatan PP DMI (Dewan Masjid Indonesia) kepada Panjimas, menanggapi Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah, Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang mengusulkan agar NU tidak menggunakan sebutan kafir untuk warga negara Indonesia yang tidak memeluk agama Islam.
Secara harfiah, kafir itu artinya menutupi sesuatu. Wahbah Az Zuhaili dalam tafsir Al Munir menyatakan: Setiap orang yang tidak beriman kepada Al Qur’an disebut orang kafir.
“Non muslim itu ya kafir, tapi bila karena istilah, lalu tidak mau menganggap non muslim sebagai kafir, ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam,” ujar Ustaz Ahmad Yani.
Dikatakan Ustaz Ahmad Yani, terhadap non muslim bukan mengkafirkan, tapi memang mereka kafir. Yang tidak boleh adalah mengkafirkan yang muslim.“Tentu saja, tidak memanggil non-muslim saat bertemu dengan panggilan hai kafir,” kata Ustaz Ahmad Yani, ulama Betawi yang juga Ketua LPPD Khairu Ummah.
Seperti diberitakan www.nu.or.id, “Kata kafir menyakiti sebagian kelompok non-Muslim,” kata Abdul Muqsith Ghozali, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU di Komisi Maudluiyah pada Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Kamis (28/2).
Para kiai menyepakati tidak menggunakan kata kafir, akan tetapi menggunakan istilah muwathinun, yaitu warga negara. Menurutnya, hal demikian menunjukkan kesetaraan status Muslim dan non-Muslim di dalam sebuah negara. Demikian dijelaskan Muqsith Ghozali yang sebelumnya dikenal sebagai Tokoh Jaringan Indonesia Liberal (JIL). (des)