JAKARTA, (Panjimas.com) – Polemik soal kata Kafir yang sekarang ini ramai dibicarakan masyarakat terkait adanya hasil keputusan Munas Alim Ulama dari Nahdatul Ulama di Kota Banjar, Jawa Barat terkait usulan agar non muslim di Indonesia tidak disebut Kafir menuai pro kontra di masyarakat.
Adalah Drs Anwar Abbas selaku Sekretaris Jenderal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga adalah sebagai tokoh dari Muhammadiyah yang juga turut menyampaikan mendapatnya.
“Kapankah kita akan memakai kata kafir dan kata penduduk serta warga negara? Kalau kita bicara tentang Allah SWT maka yang tidak mempercayainya dalam Islam disebut dengan kafir,” kata Anwar Abbas pada hari Jumat, (1/3).
Menurut dirinya ada dasarnya. Adalah firman Allah SWT dan terdapat dalam salah satu ayat dalam Al Quran yang artinya: “Sungguh telah kafir orang yang berkata bahwa Allah itu adalah Al Masih ibnu Maryam. Jadi dengan demikian orang yang mempertuhankan Isa Al-Masih dan atau tidak mempertuhankan Allah SWT.
“Kita sebagai bagian dari umat dalam sistim keyakinan Islam disebut kafir dan kita umat Islam tidak punya hak untuk mengganti sebutannya,” katanya.
Tapi ketika kita bicara tentang negara maka semua orang yang tinggal di wilayah suatu negara maka dia kita sebut dengan penduduk dari negara yang bersangkutan. Dan kalau yang menjadi penduduk itu adalah orang yang diakui secara hukum sebagai warga dari suatu negara itu maka dia disebut dengan warga negara.
“Untuk kasus Indonesia mereka yang diakui secara hukum sebagai warga dari negara republik Indonesia disebut dengan Warga Negara Indonesia (WNI) dan yang tidak diakui secara hukum sebagai warga negara Indonesia tapi tinggal di Indonesia mereka disebut dengan Warga Negara Asing (WNA).
“Oleh karena itu kata kafir tidak terkait dengan negara. Kata kafir terkait dengan masalah keimanan kepada Allah SWT. Kalau dia tidak beriman kepada Allah SWT maka dia di dalam Islam disebut dengan kafir,” tandas Anwar Abbas.
Tapi kalau kita bicara tentang negara maka kosa kata yang harus kita pakai adalah penduduk atau warga negara bukan kata kafir atau tidak kafir. Kalau kita akan hubungkan juga dengan agama maka pilihan katanya adalah penduduk atau warga negara yang beragama Islam, beragama Kristen, beragama Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu atau lainnya.
Atau orang biasa juga menyebut dengan istilah Islam dan non Islam atau Kristen dan non Kristen atau Katholik dan non Katholik, Hindu dan non Hindu, Budha dan non Budha, Konghucu dan non Konghucu. Jadi kata non dalam hal ini adalah dipakai untuk yang selain dari agama yang dimaksud.
“Kalau yang dimaksud Islam maka yang lainnya disebut juga non Islam, tapi kalau yang dimaksud Kristen maka yang lainnya disebut non Kristen. Begitulah seterusnya untuk memudahkan dalam pengucapannya,” pungkasnya. [ES]