Jakarta (Panjimas.com) – Indikator seorang muslim yang baik adalah meninggalkan hal yang tidak perlu. Karena itu usulan agar tidak menggunakan sebutan kafir untuk warga negara Indonesia yang tidak memeluk agama Islam, terkesan terlalu mengada-ada.
“Keputusan itu mengada-ada yang tidak perlu. Keputusan itu menunjukkan kelemahan cara berpikir untuk mendangkalkan akidah. Aneh, jika terminologi kafir yang terdapat didalam Al Qur’an dan Hadits malah dipersoalan,” kata Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur KH. Muhammad Yunus kepada Panjimas, Sabtu (2/3/2019)
Seperti diberitakan sebelumnya, Komisi Maudluiyah pada Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Kamis (28/2), mengusulkan agar NU tidak menggunakan sebutan kafir untuk warga negara Indonesia yang tidak memeluk agama Islam.
“Istilah kafir dianggapnya mengandung unsur kekerasan teologis. Padahal, mencoba menghilangkan terminologi kafir di dalam Qur’an, adalah upaya untuk merongrong akidah. Ada implikasi jika menghilangkan kata kafir dalam Al Qur’an, yakni merusak terhadap pemaknaan kitab suci. Terlebih kata kafir banyak terdapat di dalam al Qura’n untuk menjelaskan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah,” jelas KH. Yunus.
Menurut KH. Muhammad Yunus, keputusan untuk menghilangkan istilah kafir dalam Al Qur’an, merupakan keberhasilan kelompok Sepilis (Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme) untuk mempengaruhi pemikiran para ulama dan kiai di Nahdlatul Ulama (NU) dalam mengambil keputusan penting. (des)