IDLIB, (Panjimas.com) — Rezim Bashar al-Assad dan sekutunya di Suriah kembali melanggar kesepakatan gencatan senjata pada perjanjian Sochi dengan menyerang pabrik roti terbesar di Distrik Khan Sheikhun di zona de-eskalasi Idlib.
Pemilik pabrik roti, Hazem Sermani mengatakan bahwa pabrik yang memenuhi kebutuhan roti untuk 10.000 keluarga rusak akibat serangan tersebut.
Hazem Sermani mengungkapkan kapasitas produksi harian dari pabrik roti tersebut ialah 200.000 roti.
“Serangan tersebut membakar 6 ribu liter minyak tanah dan 80 ton tepung. 70 persen dari pabrik rusak parah,” pungkas Hazem Sermani, dikutip dari Anadolu.
Pasukan rezim Assad terus melakukan serangan artileri terhadap Khan Sheikhun dan Marratin Numan distrik terbesar di Idlib, di mana setidaknya 250.000 warga sipil menempati wilayah tersebut sejak awal Februari.
Menyusul pertemuan 17 September di Sochi antara Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin, keduanya sepakat membangun zona demiliterisasi – di mana tindakan agresi dilarang secara tegas – di Idlib.
Di bawah kesepakatan itu, kelompok-kelompok oposisi di Idlib diizinkan untuk tetap menempati daerah-daerah di mana mereka sudah hadir, sementara Rusia dan Turki mulai melakukan patroli gabungan di daerah itu untuk mencegah pertempuran kembali meletus.
Sejalan dengan kesepakatan Sochi, kelompok oposisi menarik persenjataan berat mereka dari daerah tertentu di Idlib sejak 10 Oktober.
Gencatan Senjata
Turki, Rusia, Prancis, dan Jerman baru-baru ini menyerukan gencatan senjata abadi mengacu pada perang sipil di Idlib, Suriah. Seruan gencatan senjata ini merupakan buah dari KTT Suriah yang diselenggarakan di Istanbul, Turki, Sabtu (27/10) lalu.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, bersama dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan Kanselir Jerman Angela Merkel berupaya menemukan solusi jangka panjang terkait konflik Suriah.
Emmanuel Macron mendesak Rusia, yang mendukung pemerintahan Bashar al-Assad, untuk melakukan tekanan terhadap Damaskus untuk mendorong gencatan senjata berkelanjutan dan abadi di Idlib.
Bulan September lalu, Turki yang mendukung kubu oposisi, bersepakat dengan Rusia untuk membuat zona penyangga di sekitar Idlib. Rencana itu dibuat di tengah kekhawatiran akan terjadinya serangan yang berpotensi menyebabkan bencana kemanusiaan di Idlib.
Eskalasi konflik terus terjadi di Idlib sejak saat itu. Pada Jumat (26/10), tujuh warga sipil tewas akibat serangan artileri rezim Assad. Ini merupakan jumlah kematian tertinggi sejak gencatan senjata dilakukan.
Turki, Rusia, Prancis, dan Jerman dalam pernyataan bersamanya menyerukan pembentukan komite untuk menyusun konstitusi baru di Suriah. Komite tersebut diharapkan dapat terbentuk sebelum akhir tahun untuk membuka jalan bagi pemilihan umum yang bebas dan adil di negara itu, dilansir dari The Guardian.
“Harus dipastikan agar organisasi kemanusiaan mendapat akses masuk ke seluruh wilayah Suriah dengan cepat, aman, dan tanpa hambatan, serta bantuan kemanusiaan dapat segera menjangkau semua orang yang membutuhkan,” tulis pernyataan tersebut.
Pernyataan itu juga menyebutkan bahwa Suriah harus menciptakan kondisi yang aman di seluruh negeri agar para pengungsi bisa kembali secara aman dan sukarela.
Idlib
Idlib sebegaimana diketahui kini merupakan wilayah yang dikendalikan oleh kelompok-kelompok bersenjata anti-rezim Assad, Idlib telah mengalami serangan udara hebat selama dua bulan terakhir, yang menyebabkan ratusan kematian dan korban luka, menurut sumber pertahanan sipil.
Wilayah Idlib berada dalam jaringan zona de-eskalasi yang disokong oleh Turki, Rusia, dan Iran – di mana tindakan agresi militer dilarang secara eksplisit.
Selama pembicaraan damai di ibukota Kazakhstan, Astana, tiga negara penjamin, Turki, Iran dan Rusia, sepakat untuk menetapkan zona de-eskalasi di Idlib dan di beberapa bagian Provinsi Aleppo, Latakia dan Hama.
Idlib, yang terletak di Suriah bagian Barat Laut di perbatasan Turki, menghadapi serangan hebat yang dilancarkan rezim Assad setelah perang berkecamuk yang dimulai pada tahun 2011.
Sejak Maret 2015, Idlib tidak lagi berada di bawah kendali rezim Assad dan didominasi oleh kelompok oposisi militer dan organisasi bersenjata anti-rezim Assad.
Sejak awal 2011, Suriah telah menjadi medan pertempuran, ketika rezim Assad menumpas aksi protes pro-demokrasi dengan keganasan tak terduga — aksi protes itu 2011 itu adalah bagian dari rentetan peristiwa pemberontakan “Musim Semi Arab” [Arab Spring].
Sejak saat itu, lebih dari seperempat juta orang telah tewas dan lebih dari 10 juta penduduk Suriah terpaksa mengungsi, menurut laporan PBB.
Sementara itu Lembaga Pusat Penelitian Kebijakan Suriah (Syrian Center for Policy Research, SCPR) menyebutkan bahwa total korban tewas akibat konflik lima tahun di Suriah telah mencapai angka lebih dari 470.000 jiwa.[IZ]