Jakarta (Panjimas.com) – “Perbedaan pilihan politik tidak menjadikan umat Islam terpecah. Biarlah kita berbeda pilihan, baik pilihan untuk anggota legislatif, partai maupun capres. Tapi janganlah ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, persaudaraan kebangsaan kita porak poranda karena itu.”
Demikian dikatakan Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) Din Syamsuddin dalam acara Rapat Pleno Dewan Pertimbangan MUI ke 36 bertajuk Silaturahim dan Dialog Capres-Cawapres 2019, di Kantor MUI, Jakarta, Rabu (20/9/2019).
Din menyerukan agar partai-partai politik menjaga suasana menjelang Pileg dan Pilpres 2019 agar tetap damai. “Marilah kita jalani agenda demokrasi ini secara damai dan beradab,” kata Din.
Lebih lanjut Din berharap, partai-partai politik Islam diharapkan menyadari kekuatan kebersamaan (ukhuwah), khususnya ketika menghadapi “tahun politik” 2019. Sebab, ada agenda keumatan yang semestinya dituju bersama-sama. Mereka juga hendaknya memiliki semangat ukhuwah sebagai pengikat satu sama lain. Demikian kondisi idealnya.
Hanya saja, kata Din, sistem politik yang berlaku di Indonesia saat ini adalah liberal. Dengan begitu, panggung politik memunculkan sistem multipartai. Bagi mantan Ketua Umum MUI itu, kondisi itu kurang menguntungkan bagi terwujudnya kekuatan politik Islam di Indonesia.
“Seyogianya, kekuatan politik Islam menjadi kekuatan bangsa, untuk memperjuangkan nilai-nilai etika Islam bagi kehidupan kebangsaan. Jadi jangan dihalangi, dinafikan, apalagi ditiadakan,” kata Din.
Dia menerangkan, dapat dipahami bila partai-partai politik yang mengusung narasi Islam bervisi persatuan umat. Namun, pada faktanya partai-partai demikian cenderung jalan sendiri-sendiri. Seharusnya, kata Din, mereka berkoalisi secara strategis, terutama dalam konteks wawasan keislaman tentang pembangunan ekonomi dan kebudayaan di Tanah Air.
Din menyayangkan, nuansa politik yang saling mencerca sudah mulai terasa. Para pendukung masing-masing kandidat cenderung melupakan akhlak yang baik, sehingga saling merundung satu sama lain.
“Yang kelompok ini, memanggil (kelompok) sana dengan nama binatang. Kelompok sana memanggil yang sini dengan nama binatang. Itu tidak menghargai manusia sebagai ciptaan Tuhan yang harus dimuliakan. Kok sudah sampai begitu kita ya?” ujar ketua umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015 itu.
“Jangan terlalu ekstrim apalagi saling menghujat, mendegradasi kemanusiaan. Yang kelompok ini memanggil kelompok sana dengan nama binatang. Kelompok sana memanggil kelompok ini dengan nama binatang. Itu artinya tidak menghargai manusia sebagai ciptaan Tuhan. Kok sudah sampai begitu ya kita,” katanya.
Pada akhirnya, dia berharap “tahun politik” kali ini tidak membuat seluruh elemen bangsa untuk meninggalkan adab. Dia menyerukan agar bangsa Indonesia dalam menghadapi agenda demokrasi pemilihan legislatif dan pemilihan presiden (Pilpres) secara beradab. Hal itu lebih khusus lagi bagi umat Islam.
“Maka (bangsa Indonesia) jangan meluncur ke arah kebiadaban, biarlah kita berbeda pilihan untuk anggota legislatif, partai dan pilpres tapi jangan ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah porak poranda,” tutur dia. (des)