MANILA, (Panjimas.com) — Pengadilan Tinggi Filipina menyetujui pemberlakuan perpanjangan darurat militer di Mindanao hingga akhir 2019, Selasa (19/02). seperti dilansir Philstar.
Keputusan tersebut diambil setelah Pengadilan Tinggi merespons empat petisi penolakan terhadap perpanjangan darurat militer yang diteken oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
Empat petisi tersebut diajukan oleh anggota parlemen, pengacara hak asasi manusia, dan penduduk Mindanao yang menentang dasar konstitusional pemberlakuan darurat militer.
Pengadilan Tinggi telah menggelar argumentasi lisan mengenai petisi pada 29 Januari yang dihadiri para pejabat militer.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi Filipina telah menyetujui perpanjangan darurat militer pada 2017 dan 2018.
Desember lalu, Kongres Filipina menyetujui perpanjangan darurat militer di Mindanao hingga akhir 2019.
Keputusan itu diambil setelah mayoritas anggota kongres setuju memperpanjang darurat militer.
Total ada 235 anggota kongres yang menyetujui perpanjangan darurat militer, sementara 28 lainnya menolak. Hanya satu suara yang menyuarakan abstain.
Duterte mengatakan perpanjangan ini akan memudahkan militer dan kepolisian mengakhiri pemberontakan di Mindanao.
“Perpanjangan ini juga untuk mencegah pemberontakan di negara bagian lainnya,” klaim Duterte.
Duterte mencatat Kelompok Abu Sayyaf, Pejuang Kemerdekaan Islam Bangsamoro (BIFF), Daulah Islamiyah (DI) dan kelompok lainnya terus melakukan perlawanan di wilayah tersebut.
Sejumlah aktivis HAM di Filipina telah menentang perpanjangan darurat militer di Mindanao.
Darurat Militer Dinilai Inkonstitusional
Sejumlah senator Filipina menolak proposal perpanjangan darurat militer ketiga di wilayah Mindanao, Selasa (04/12) dilansir Manila Bulletin.
Mereka mengatakan tidak ada dasar konstitusional untuk memperpanjang darurat militer di wilayah Selatan.
Darurat militer pertama kali dideklarasikan di Mindanao setelah pasukan Filipina dan milisi kelompok Maute bentrok di Marawi pada Mei tahun lalu.
Meski Duterte menyatakan telah mengambil alih Marawi pada Oktober 2017, darurat militer tetap diberlakukan atas Mindanao.
Duterte lantas memperpanjang darurat militer atas persetujuan kongres pada Februari 2018 yang akan rampung pada akhir tahun.
Pemimpin Minoritas Senat Franklin Drilon menyatakan perpanjangan darurat militer sebagai langkah inkonstitusional.
Menurutnya, sudah tidak ada lagi pemberontak di wilayah tersebut yang mengharuskan pemerintah memberlakukan darurat militer.
“Konstitusi jelas menyatakan bahwa darurat militer dapat diberlakukan dalam kasus-kasus ‘pemberontakan yang nyata’,” tukas Drilon dalam pernyataannya.
Senator Francis Pangilinan dan Grace Poe mememperkuat pernyataan Drilon dan mendesak militer memberikan bukti bahwa masih ada pemberontakan yang nyata di Mindanao.
“Saya ingin bertanya kepada Angkata Bersenjata Filipina, apakah masih ada kelompok Maute di sana? Apakah masih ada Daesh di sana,” kata Poe seperti dikutip ABC-CBN News.
Pangilinan menyampaikan militer harus bisa menjawab seberapa besar ancaman di Mindanao sehingga mengharuskan perpanjangan darurat militer.
Pangilinan, yang juga ketua oposisi Partai Liberal, memperingatkan agar tidak memberlakukan undang-undang darurat di wilayah itu selama tahun pemilu.
“Wilayah di bawah kendali militer dapat mempengaruhi kampanye kandidat oposisi dan mereka yang tidak berkoalisi dengan pemerintah,” jelasnya.
Warga Desak Darurat Militer Dicabut
Sejumlah masyarakat Mindanao yang terdiri dari guru, sukarelawan, dan penduduka biasa baru-baru ini mengajukan petisi kepada Mahkamah Agung untuk menghentikan penerapan darurat militer, yang telah diperpanjang tiga kali, di wilayahnya.
Rius Valle, Jhosa Mae Palomo, Jeany Rose Hayahay dan Rorelyn Mandacawan mengajukan petisi untuk mencabut perluasan darurat militer kali ketiga oleh Presiden Rodrigo Duterte di Mindanao, dikutip dari Anadolu.
Di depan pengadilan, para pemohon menekankan bahwa mereka secara langsung dipengaruhi oleh berlanjutnya darurat militer.
Mereka meminta pengadilan untuk memeriksa kecukupan dasar faktual dari berlanjutnya darurat militer di kawasan tersebut.
Para pembuat petisi juga meminta pengadilan mengeluarkan perintah penghentian “pemindahan anak-anak sekolah lumad dan pelecehan dan intimidasi orang tua dan guru.”
Darurat militer diberlakukan di Mindanao saat pemerintah Filipina mengepung dan menghancurkan sisa-sisa kelompok Maute dan Abu Sayyaf yang dikatakan masih memberontak terhadap pemerintah.[IZ]