JAKARTA (Panjimas.com) – Peneliti Indonesia Corruption Watch ( ICW) Divisi Korupsi Politik Almas Syafrina menilai dana bantuan sosial rawan karena berpotensi digunakan sebagai politisasi untuk kepentingan kampanye di Pemilu 2019.
“Pertama, rawan tidak tepat sasaran diberikan kepada orang yang tidak berhak atau tidak sesuai dengan peraturan dan tidak sesuai dengan latar belakang, ‘kenapa ada dana anggaran Bansos?'” kata Almas dalam diskusi berseri Madrasah Anti Korupsi di KeKini, Menteng, Jakarta Pusat, Jum’at (15/2) sore.
baca: Madrasah Anti Korupsi Gelar Diskusi Soal Dana Bansos
Kedua, Almas berpendapat bahwa dana anggaran bantuan sosial juga berpotensi besar untuk dikorupsi. “Karena luar biasa banyak sektor yang (bisa) dikorupsi,” terangnya.
Adapun yang terakhir yaitu adanya politisasi. Hal itu, menurut Almas, bisa dilihat dari aktor yang terlibat di dalamnya, momentum penyerahan bansos, dan anggaran dana bansos tersebut.
Bicara soal dana anggaran bantuan sosial yang meningkat hampir 40 persen dari sebelumnya tahun 2018 sebesar Rp 36 Triliun dan di tahun 2019 menjadi 50 Triliun, menurut Almas, terbilang cukup besar. Karenanya, rawan dipolitisasi.
Adapun soal momentum pemberian dana bantuan sosial juga rawan politisasi. Sebab, kata Almas, dari sisi momentum sudah disalurkan pada termin pertama (bulan Januari) dan termin kedua pada April walaupun kita belum tau apakah sebelum atau sesudah Pemilu 2019.
baca: Tiga Rekomendasi Madrasah Anti Korupsi Soal Dana Bansos
Sebelumnya, Almas berpendapat bahwa dana bantuan sosial sebagai kebijakan yang bersifat hura-hura.
“Karena dia bisa menciptakan citra kepada si pemberi maupun orang-orang yang terlibat dalam pemberiannya, baik dari pemerintah maupun orang-orang yang disebut-sebut dalam momentum pemberian dan sebagainya,” pungkas Almas. [DP]