LONDON, (Panjimas.com) — Konferensi internasional dalam rangka membahas nasib Muslim Uighur digelar di London, Rabu (13/02) lalu. Sesi dalam forum ini juga memperdengarkan pandangan dari para panel cendekiawan dan jurnalis tentang penindasan yang dilakukan pihak Pemerintah China terhadap Muslim Uighur di Xinjiang.
Konferensi internasional ini diselenggarakan oleh Yayasan Cordoba dan menghadirkan narasumber penting seperti Dr. Anas Altikriti, CEO dan pendiri yayasan, aktivis dan cendekiawan Uighur Rahime Mahmut, Mahmut Turdi dan Aziz Isa Elkun.
Sementara itu, Anggota Parlemen Partai Buruh Emily Thornberry, pengacara HAM Rodney Dixon QC dan Louise Payne-Jones, Kepala peneliti di Observatorium Internasional Hak Asasi Manusia (IOHR) juga hadir menjadi pembicara, sementara Dr. Altikriti bertindak sebagai moderator.
“Sepanjang malam ini, kita semua akan mendengar dari berbagai sudut pandang yang akan menyoroti masalah yang jarang dibicarakan, bahkan, untuk beberapa alasan, hampir tidak pernah dibicarakan. Jadi hari ini, kami akan menyoroti perspektif itu,” ujar Altikriti.
Ia juga berbicara tentang keterkejutannya pada berapa banyak orang, khususnya Muslim, yang tidak tahu tentang Muslim Uyghur yang tinggal di China dan penindasan yang mereka hadapi selama bertahun-tahun.
Penindasan yang dihadapi oleh orang-orang Uighur, menurut Altikriti, merupakan genosida budaya dan Yayasan Cordoba akan mengadakan diskusi yang luas dan mendalam dalam beberapa bulan dan tahun-tahun mendatang yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan kondisi buruk warga Uighur.
“Selama 18 tahun terakhir, saya tidak dapat kembali untuk melihat keluarga saya dan tanah air tercinta karena keterlibatan saya dalam menentang pelanggaran hak asasi manusia yang dipaksakan pada rakyat saya oleh pemerintah China,” tutur aktivis Uighur Rahime Mahmut, dikutip dari Anadolu.
Rahime Mahmut mengatakan sudah lebih dari dua tahun sejak dia terakhir berbicara dengan keluarganya, yang tinggal di Xinjiang. Ia pun mengungkapkan bahwa keluarganya mengatakan kepadanya untuk tidak menghubungi mereka lagi karena takut pasukan keamanan China akan menahan mereka di kamp-kamp konsentrasi.
“Tolong serahkan kami ke tangan Tuhan dan kami akan menyerahkan kamu ke tangan Tuhan juga,” jelas saudara laki-laki Mahmut mengatakan kepadanya pada Januari 2017 lalu.
“Dia secara tidak langsung mengatakan kepada saya untuk tidak menghubungi mereka lagi, dan sampai hari ini, saya tidak tahu bagaimana kabar mereka, apakah mereka aman, atau ditahan di kamp,” imbuh Mahmut.
Mahmut Turdi, aktivis Uighur lain yang tinggal di pengasingan, berbicara tentang pengalamannya ditahan dan diinterogasi di kota asalnya, Karamay, dua hari setelah menikah dengan istrinya, yang juga ditahan dan diinterogasi tanpa sepengetahuannya.
“Dua hari setelah pernikahan saya, pasukan keamanan China datang dan membawa saya dari kamar saya ke hotel setempat dan saya tidak tahu bahwa ternyata mereka juga menangkap istri saya. Saya diinterogasi selama dua hari karena identitas saya dan karena saya belajar di Barat, mereka paranoid dengan siapa saya bergaul,” jelas Mahmut Turdi.
Setelah kembali ke Inggris pada 2003, paspor China Turdi dicabut dan ia dilarang mengunjungi keluarganya di Xinjiang.
Dengan demikian, sudah 15 tahun sejak dia terakhir bertemu atau berbicara dengan keluarganya dan dia tidak mengetahui kabar mereka dan apakah mereka bebas atau tidak.
Rodney Dixon QC, pengacara hak asasi manusia, dan Louise Payne-Jones, kepala peneliti di IOHR, menggambarkan bagaimana Xinjiang dan kota-kota besar berubah menjadi negara polisi, dengan pengintaian dan pengumpulan intelijen yang mengganggu kehidupan pribadi warga Muslim Uighur dalam upaya untuk menyadarkan mereka dan menghancurkan budaya dan agama mereka.
Mereka menjelaskan bagaimana kantor polisi dan kamp konsentrasi dibangun dalam jumlah yang mengkhawatirkan untuk mengendalikan sebagian besar aspek kehidupan orang Uighur.
Tindakan ini, menurut mereka, bersama dengan penahanan massal dan penyiksaan Muslim Uighur di kamp-kamp yang disebut pendidikan ulang, adalah genosida budaya yang bertujuan untuk menghancurkan budaya Turki Uighur dan mengasimilasi mereka ke dalam budaya Han China yang dominan.
Oleh karena itulah warga Muslim Uighur dilarang mempraktikkan prinsip-prinsip dasar keyakinan mereka seperti melakukan salat, membaca Al-Quran dan berpuasa selama bulan Ramadhan.
Pihak berwenang China telah berulang kali menyatakan bahwa mereka menahan orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan ringan dan bahwa mereka ditahan di pusat-pusat pendidikan ulang, di mana mereka menikmati waktu mereka dan bersyukur bisa berada di sana.
Tetapi catatan pribadi dari mantan tahanan menggambarkan bahwa warga Uighur dilarang untuk melaksanakan kewajiban agama mereka.
Menurut laporan yang diterbitkan oleh Human Rights Watch, pemerintah China telah melakukan kebijakan represif ini selama bertahun-tahun terhadap warga Uighur.
Penduduk Muslim Uighur termasuk dalam etnis Turki dan meskipun mereka membentuk mayoritas di Kawasan Otonomi Muslim Xinjiang, hidup sebagai minoritas di China.[IZ]