NEW YORK, (Panjimas.com) — Para pelaku genosida Rohingya harus diadili di pengadilan internasional atas kejahatan mereka terhadap kemanusiaan, demikian menurut Presiden sekaligus pendiri organisasi non-pemerintah, ‘Genocide Watch’, Jumat (08/02).
“Kami menciptakan pengadilan internasional untuk mengadili para pelaku genosida Kamboja, Rwanda dan genosida lainnya, yang ada di Bosnia, di Timor Timur dan di tempat lain. Sekarang kami memiliki Pengadilan Pidana Internasional,” pungkas Gregory Stanton, Profesor Riset Studi Genosida dan Pencegahan di Universitas George Mason, dikutip dari Anadolu.
Gregory Stanton memberikan pernyataan dalam konferensi selama dua hari yang digelar oleh Koalisi Pembebasan Rohingya (FRC) di New York yang bertujuan untuk mengumpulkan para cendekiawan dan aktivis dari seluruh dunia untuk mencari cara agar Myanmar bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan.
FRC bekerja untuk membangun gerakan akar rumput demi mendesak Myanmar agar bertanggung jawab atas kampanye genosida terhadap Rohingya.
“Jadi hal pertama yang harus kita katakan di sini adalah bahwa para jenderal yang telah menjalankan kampanye genosida ini melawan Rohingya, melawan Kachin, Shan dan kelompok-kelompok lain di Myanmar harus, pertama-tama, menjadi paria internasional. Mereka tidak boleh diizinkan untuk bepergian. Semua aset yang mereka miliki disita,” papar Gregory Stanton.
Stanton mengatakan sebagian besar Eropa Barat, AS, Kanada dan negara-negara lain termasuk Argentina dan Senegal melakukan genosida yang merupakan kejahatan yurisdiksi universal.
Stanton mencatat bahwa mereka yang melakukan kejahatan tersebut dapat ditangkap dan diadili di negara terjadinya genosida itu, termasuk Myanmar.
Rohingya, yang digambarkan PBB sebagai etnis paling teraniaya di dunia, menghadapi ketakutan meningkat akan serangan sejak belasan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.
Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya – kebanyakan perempuan dan anak-anak – meninggalkan Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan penumpasan terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.
Sejak 25 Agustus 2017, hampir 24.000 Muslim Rohingya terbunuh oleh pasukan negara Myanmar, menurut laporan Ontario International Development Agency (OIDA).
PBB juga mendokumentasikan pemerkosaan massal, pembunuhan – termasuk bayi dan anak kecil – pemukulan brutal dan penghilangan yang dilakukan oleh pasukan negara Myanmar.
Dalam laporan tersebut, penyelidik PBB mengatakan pelanggaran seperti itu merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.[IZ]