Jakarta (Panjimas.com) — Guru Besar IPB Bidang Ketahanan dan Pemberdayaan, Prof Euis Sunarti menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual atau ubah menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual.
Ditemui Panjimas usai kegiatan Disaster Outlook 2019 yang digelar Disaster Management Institute of Indonesia (DMII-ACT) di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (31/1/2019), Prof Euis memaparkan beberapa alasan penolakannya terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS).
Menurut Prof. Euis, ada beberapa alasan penolakannya atas RUU Penghapusan Kekerasan (RUU P-KS). Pertama, RUU tersebut tidak komprehensif karena tidak memuat sekaligus pengaturan norma perilaku seksual.
“Masyarakat memandang penting pengaturan perilaku seksual bukan hanya pada penghapusan kekerasannya, namun juga meliputi normanya yaitu larangan kejahatan seksual (perilaku seks menyimpang seperti zina, pelacuran, homo dan biseksual),” ungkap Ketua GiGa (Penggiat Keluarga) Indonesia.
Dikatakan Prof Euis, dalam RUU P-KS, yang diatur adalah larangan pemaksaanya (pelacuran, aborsi), mengabaikan pelacuran sebagai penyimpangan perilaku seks-nya. demikian juga tidak memasukkan perilaku seks menyimpang lainnya.
“Naskah akademik RUU sama sekali tidak mengakomodir kekerasan seksual terhadap laki-laki yang semakin marak dan menakutkan, yang sebagian besar terkait dengan kejahatan seks menyimpang LGBT. oleh karenanya tidak bisa dipisahkan antara pengaturan teknis perilaku seksual (kekerasanya) dengan normanya (larangan perilaku seks menyimpang),” jelasnya.
Prof Euis berpendapat, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebaiknya diubah saja menjadi Penghapusan kejahatan seksual. RUU ini tidak memenuhi aspirasi masyarakat Indonesia. Diduga karena pihak perumus Naskah Akademik dan draft RUU merupakan pihak yang tidak setuju adanya larangan zina dan LGBT dalam KUHP.
Alasan penolakan RUU P-KS selanjutnya adalah menegasikan institusi keluarga (rumah tangga). Naskah Akademik dan RUU ini tidak memberi perhatian dan mengakomodir institusi keluarga di Indonesia yang hidup dengan nilai-nlai konvensional, menjadikan agama (khususnya agama Islam yang dianut mayoritas keluarga Indonesia) sebagai landasan kehidupan. Agama yang dianut keluarga dan masyarakat Indonesia sangat mencela perilaku seks menyimpang.
Secara sosiologis, keluarga di Indonesia menganut paradigma sistem dan struktural fungsional, yaitu pengakuan keluarga sebagai sistem, satu kesatuan denga struktur yang satu sama lain memiliki fungsi saling melengkapi dan menguatkan. Struktur keluarga (suami-istri; orangtua-anak) dan konsekuensi fungsinya, termasuk pengakuan dan keyakinan bahwa laki-laki sebagai suami menjadi kepala keluarga (UU Perkawinan).
“Suami sebagai kepala keluarga dituntut role accountability nya, sebagai amanah juga beban, tidak otomatis menjadikanya mulia. Demikian juga hal sama untuk istri, memiliki peran fungsi dan tugas yg dituntut pertanggungjawabanya.”
Menurut Prof Euis, keluarga Indonesia tidak menganut paradigma konflik sosial yang menjadi landasan teori feminis dan gender (relasi, identitas, ekspresi gender) yang menjadi dasar pengembangan atau perumusan RUU PKS ini. RUU PKS ini dikembangkan menggunakan feminist legal theory dan gender.
Ketiga, alasan Prof Euis menolak RUU P-KS adalah Naskah Akademik RUU tidak menjadikan UU no 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sebagai acuan dalam mengelaborasi landasan yuridisnya. Padahal UU perkawinan menjadi dasar pembentukan keluarga Indonesia yang didalamnya mengatur hubungan suami-istri, termasuk pasal yang menyatakan laki-laki sebagai kepala keluarga.
RUU PKS dikembangkan dengan paradigma feminis dan gender equality yang memandang sistem patriarki (salah satunya ditunjukan bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga) merupakan penghambat perempuan maju, menjadi sumber dskriminasi perempuan, sehingga harus diubah dan dihapuskan. Sehingga RUU ini menjadikan otonomi penuh yang sama laki-laki dan perempuan (dinyatakan dengan frasa Persetujuan yang bebas dari ketimpangan relasi kuasa dan gender), sebagai definisi kekerasan.
Alasan penolakan keempat, RUU ini dikembangkan sama sekali tanpa kajian bagaimana dan apa dampak implementasi aturan terhadap institusi perkawinan dan keluarga. Jika ketiadaan persetujuan dijadikan syarat perilaku seksual itu dikategorikan sebagai pemaksaan dan kekerasan, bagaimana implementasi dan dampaknya dalam perilaku seksual suami-istri dalam keluarga?
Mengapa sama sekali tidak mengangkat hasil2 kajian yang berlimpah mengenai marital quality (conflict, satisfaction, happiness) dan dampaknya terhadap perceraian?
“Tidak khawatirkah bahwa RUU ini membuka ruang dan kesempatan terjadinya marital disharmony, perselingkuhan, dan perceraian. Saat ini kita justru sedang prihatin karena angka perceraian semakin meningkat, 1000 perceraian per hari, dan 40 perceraian per jam. 70% perceraian diajukan perempuan (istri),” paparnya.
Alasan penolakan RUU P-KS kelima adalah, RUU ini hanya mengedepankan Hak, tanpa menyeimbangkannya dengan kewajiban. Hak setiap individu untuk terbebas dari kekerasan hendaknya diseimbangkan dengan kewajiban untuk memastikan haknya terpenuhi.
Apalagi jika implementasi hubungan seks antara suami istri dalam ikatan perkawinan, maka penekanan hak saja, akan berpotensi munculnya konflik perkawinan.
Alasan penolakan keenam, definisi kekerasan sangat luas dari pelecehan sampai pemaksaan dan penyiksaan, berpotensi multi tafsir, dan dampak implementasinya dalam kehidupan, khususnya dalam hubungan suami-istri.
“Pelecehan pun baik yang fisik (mencolek dll) maupun non fisik (kedipan mata. Isyarat.dll). Jika itu diterapkan dalam hubungan laki-laki dan perempuan sebagai suami istri, maka akan berpotensi menimbulkan masalah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka RUU ini harus diubah menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual, atau dibatalkan.”
Penolakan selanjutnya, komponen pencegahan dalam RUU ini sangat sedikit dan tidak mengelaborasi faktor kekerasan dan penyimpangan seksual yang harus dicegah dan diantisipasi. lagi-lagi, tidak menjadikan keluarga sebagai bagian penting. (des)