Jakarta (Panjimas.com) — Musisi yang juga caleg Partai Gerindra Ahmad Dhani divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas kasus ujaran kebencian pada Senin (28/1). Dia dihukum 1,5 tahun penjara.
Dhani dinyatakan telah melanggar Pasal 45A Aura (2) juncto pasal 28 Ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP.
Hakim menyatakan Dhani terbukti menimbulkan kebencian terhadap suatu golongan dengan menyuruh melakukan, menyebarkan informasi atas golongan berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan melalui akun Twitternya @AHMADDHANIPRAST. Hakim, saat membacakan putusan, meminta agar Ahmad Dhani langsung dijebloskan ke dalam penjara. Dhani lantas digelandang ke LP Cipinang, Jakarta oleh petugas. Sementara itu, tm kuasa hukum menyatakan bakal mengajukan banding atas putusan majelis hakim tersebut.
Atas vonis hakim terhadap Ahmad Dhani, Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais berharap agar aparat penegak hukum mengkaji ulang vonis terhadap Ahmad Dhani dalam kasus ujaran kebencian.
Kata Amien, di alam demokrasi, ujaran yang dilontarkan Ahmad Dhani bukan termasuk penistaan. “Dalam hal demokrasi, itu sebetulnya bukan penistaan,” kata Amien di Kantor Seknas Prabowo-Sandiaga, Menteng, Jakarta, Selasa (29/1).
Amien mencontohkan pengalamannya sendiri. Dia mengaku kerap dicaci warganet. Namun, Amien enggan mempermasalahkannya karena tidak menganggap itu sebagai penistaan.”Saya tenang sekali enggak ada masalah,” ucap Amien.
Amien menilai orang yang berjiwa besar seharusnya tidak mempersoalkan cacian dan hujatan yang ditujukan kepadanya. Kecuali, kata Amien, apabila pernyataan Ahmad Dhani sampai menimbulkan kerugian nasional. “Jadi saya kira perlu dikaji ulang,” ujar Amien.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyarankan calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto memberi perhatian terhadap keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Fahri mengomentari polemik UU ITE tak terlepas dari vonis yang diterima juru kampanye Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Ahmad Dhani Prasetyo.”Saya menyarankan Prabowo menyatakan ketika berkuasa nanti UU ITE ini harus dicabut,” kata Fahri di Kompleks Parlemen, Selasa (29/1).
Fahri berpendapat UU ITE bahkan bisa membuat orang dijebloskan ke bui karena mengkritik. Padahal, dalam kasus Dhani, Fahri menilai Ahmad Dhani tidak keliru karena penista agama merupakan tindak pidana seperti diatur UU. “Ini kan menghina yang mendukung tindak pidana. Bagaimana nasib nahi munkar mendatang?” ucapnya.
Hal senada juga diungkapkan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon. Vonis terhadap Ahmad Dhani adalah bentuk lonceng kematian demokrasi dan bukti bahwa hukum hanya tajam ke lawan politik.
“Demokrasi hanya bisa berjalan dengan baik jika hukum berlaku adil. Itulah yang absen hari ini. Hukum yang tidak adil dan tebang pilih adalah lonceng kematian bagi demokrasi,” kicaunya, dalam akun Twitter-nya, Selasa (29/1).
Ia menyebut nuansa ketidakadilan dalam kasus ini bisa dibuktikan lewat sejumlah perbandingan kecepatan penanganan laporan. Ia sendiri mengaku sudah melaporkan lusinan kasus. Misalnya, pelaporan kasus ujaran Bupati Boyolali kepada Prabowo Subianto. “Hingga hari ini, misalnya, kasus makian Bupati Boyolali kepada calon presiden kami, Pak @prabowo tidak ada tindak lanjutnya,” ujar Fadli.
“Aparat terbukti tebang pilih dalam melakukan penegakan hukum. Hukum hanya tajam kepada lawan politik, tapi tumpul kepada kawan sehaluan,” cetus dia.
“Aspek keadilan dan integritas penegakan hukum di bawah pemerintahan Presiden @jokowi memang benar-benar mengganggu perjalanan demokrasi kita,” Fadli menambahkan.
Fadli menyebut tuduhan ujaran kebencian yang disangkakan kepada Ahmad Dhani sangat prematur dan dipaksakan. Baginya, hal itu merupakan bentuk “kriminalisasi bahasa”. “Bagaimana bisa sebuah pendapat politik yang dilontarkan dengan gaya sarkastik, sebuah ekspresi bahasa yang biasa digunakan dalam retorika, dihakimi dengan tuduhan ujaran kebencian?,” tulis Fadli.
“Mempublikasikan pendapat di media sosial rawan dipidanakan. Jika begitu, horor betul masa depan kebebasan berpendapat dan mengemukakan pikiran di negeri kita,” aku dia. (des)