MATARAM, (Panjimas.com) – Langkah Presiden RI Joko Widodo memberikan remisi bagi “Otak” pembunuh wartawan Radar Bali, (Jawa Post Group) AA Gde Bagus Narendra Prabangsa, menjadi wajah muram supremasi hukum yang menjamin kebebasan Pers di Indonesia.
Meskipun menjadi hak mutlak Presiden sebagai kepala Negara untuk memberikan remisi, namun seharusnya hal tersebut dilakukan dengan berlandaskan pada pertimbangan yang matang, termasuk memperhatikan rasa keadilan bagi keluarga serta perlindungan hukum kepada para insan pers di Indonesia.
Alasan kemanusiaan tentunya menjadi faktor pertimbangan, namun sepatutnya tindakan keji yang menghilangkan nyawa orang lain juga harus diganjar dengan hukuman maksimal. Idealnya hukum itu harus tetap tegak dan menjadi panglima dalam dimensi apapun, termasuk menghadapi segala tekananan termasuk politik kekuasaan tanpa terkecuali.
Karenanya Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) NTB menyayangkan langkah Presiden Joko Widodo mengeluarkan Kepres No 29 tahun 2018 tentang pemberian remisi berupa perubahan dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara kepada otak pembunuh Redaktur Radar Bali, AA Gde Bagus Narendra Prabangsa.
“Suasana kebatinan keluarga yang ditinggalkan, cara pembunuhan yang sadis dengan menyiksa dan tanpa ampun menenggelamkan korban ke laut lepas menunjukkan betapa biadab dan para pelaku telah meninggalkan rasa kemanusiaannya. Terlalu mahal nilai sebuah transparansi informasi publik itu harus dibayar oleh Prabangsa, dengan tebusan nyawannya. Ini merupakan salah satu catatan kelam dunia pers kita selain kasus lain yang hilang tak terungkap,” ungkap Riadi Sulhi, Ketua IJTI NTB yang didampingi Sekjen dan Koordinator Bidang Hukum dan Advokasi IJTI NTB pada Rabu, (23/01).
Riadis menilai Presiden perlu meninjau ulang pemberian remisi kepada otak Pembunuhan Redaktur Senior Radar Bali, AA Gde Bagus Narendra Prabangsa, karena apapun dalihnya, hal tersebut menciderai rasa keadilan dan menambah kelam Iklim Kemerdekaan Pers yang didengungkan banyak pihak.
“Pers harus tegak dan dilindungi tanpa pengecualian, karena pers yang sehat menunjukkan tatanan demokrasi berbangsa dan bernegara,” tegasnya.
Bersamaan dengan pandangan ini, IJTI NTB mengeluarkan pernyataan sikap, meminta presiden membatalkan remisi terhadap pembunuh Prabangsa karena hal tersebut mencederai rasa keadilan insan pers di Indonesia.
Memberikan perlindungan seluas luasnya kepada insan pers dalam menjalankan tugasnya sebagai salah satu pilar demokrasi.
“Menjamin tegaknya supremasi hukum secara absolut bagi para pekerja Pers Indonesia, demi membangun iklim kebebasan pers yang sehat di masa yang akan datang,” tambahnya.
Tidak mentolerir tindakan kriminalisasi apapun kepada insan pers dan mengungkap tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia tanpa terkecuali. [ES]