Jakarta (Panjimas.com) — Dalam siaran persnya, Ketua Bidang Media AILA Indonesia menyampaikan, Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual adalah proyek kaum feminis yang ingin mengubah cara pandang masyarakat Indonesia terhadap isu seksualitas.
Banyak perempuan yang tertipu dengan berbagai tawaran solusi yang diberikan. Atas nama penghapusan kekerasan seksual, masyarakat Indonesia mendukungnya. Padahal jika dicermati, banyak agenda tersembunyi dalam definisi maupun berbagai pasal dalam RUU ini.
AILA menjelaskan, filosofi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) adalah sama dengan Bebaskan tubuh perempuan (dari nilai moral dan agama). “Siapa yang mengontrol tubuh perempuan (contohnya mengatur cara berpakaian) maka anda telah melakukan kekerasan seksual dan harus dipidanakan.”
Maka dalam RUU P-KS ini perzinaan, LGBT, pelacuran, aborsi, tidaklah dilarang (bukan kejahatan) apabila dilakukan dengan kesadaran atau tanpa paksaan (by consent). “Apakah kita mau mendukung RUU bernafaskan feminis radikal yang justru akan menghancurkan kaum perempuan? Apakah kita mau mendukung RUU yang bebas dari nilai moral dan agama ini?”.
Sebagai info, AILA Indonesia mejelaskan, RUU P-KS ini akan menjadi prioritas untuk disahkan di tahun 2019. Bagi mereka, kekerasan seksual tidak sama dengan kejahatan seksual. Kekerasan seksual asasnya adalah tidak ada paksaan. Aktivitas seksual yang haram jika dilakukan dengan kesadaran (suka sama suka) bukanlah suatu kejahatan.
“Padahal, kejahatan seksual itu melanggar norma dalam masyarakat, melanggar moralitas dan nilai-nilai agama. Oleh karena itu kita harus menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, apalagi RUU P-KS ini tidak akan mengkriminalisasi para pelaku kejahatan seksual. (des)