DHAKA, (Panjimas.com) — Sekitar 31 pengungsi Muslim Rohingya yang tinggal di antara perbatasan Bangladesh dan India bertahan hidup di bawah kondisi yang tak manusiawi selama tiga hari terakhir.
Pasukan Keamanan Perbatasan India (BSF) mencoba mengusir mereka hingga keluar garis perbatasan sementara Penjaga Perbatasan Bangladesh (BGB) menggagalkan upaya tersebut, menyebabkan puluhan pengungsi terdampar di tanah tak bertuan di bawah langit terbuka.
Ketidakpastian pun membayangi nasib pengungsi Rohingya yang miskin karena pertemuan antara pasukan perbatasan kedua negara pada Minggu berakhir tanpa hasil yang jelas.
Menurut surat kabar Daily Star, Rohingya yang terlantar harus menunjukkan kartu identitas nasional mereka yang dikeluarkan oleh Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) di India.
Daily Star juga melaporkan telah mengumpulkan foto salah satu kartu identitas yang dikeluarkan oleh UNHCR India, yang menunjukkan nama pembawa sebagai Abdur Shakur dan negara asalnya adalah Myanmar.
BGB dan BSF telah mengerahkan pasukan tambahan dan meningkatkan patroli di wilayah perbatasan, dikutip dari Anadolu.
Sedikitnya 1.300 Muslim Rohingya telah menyeberang ke Bangladesh dari India sejak awal tahun karena takut dipulangkan secara paksa ke Myanmar.
Laporan media menyebutkan bahwa sekitar 40.000 Rohingya diyakini telah berlindung di India selama bertahun-tahun.
India, yang bukan penandatangan Konvensi Pengungsi PBB, dilaporkan telah menangkap 230 Rohingya pada 2018.
Staf humas BGB, Mohsin Reza, mengungkapkan kepada Anadolu Agency bahwa batalion yang bekerja di perbatasan itu mengetahui situasi tersebut dan berupaya mengatasi krisis.
Rohingya, yang disebut-sebut PBB sebagai etnis paling teraniaya di dunia, Rohingya telah menderita sejumlah serangan sejak belasan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada 2012.
Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, sebagian besar perempuan dan anak-anak, melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh, setelah pasukan Myanmar melancarkan kekerasan terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.
Ontario International Development Agency (OIDA) dalam laporannya menyebutkan hampir 24.000 Muslim Rohingya dibunuh oleh pasukan Myanmar sejak 25 Agustus 2017.
Laporan berjudul “Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang Tak Terkira” menyebutkan bahwa lebih dari 34.000 Rohingya dibakar hidup-hidup, sementara lebih dari 114.000 lainnya dipukuli.
Sekitar 18.000 perempuan Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar dan lebih dari 115.000 rumah Rohingya dibakar dan 113.000 lainnya dirusak.
PBB mendokumentasikan pemerkosaan massal, pembunuhan – termasuk pada bayi dan anak-anak – pemukulan brutal, dan penghilangan paksa oleh pasukan Myanmar. Penyidik PBB mengatakan pelanggaran semacam itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan.[IZ]