JENEWA, (Panjimas.com) — Pakar PBB menyatakan keprihatinan mendalamnya atas meningkatnya konflik di Rakhine bagian Utara dan Tengah dan Negara-negara Chin, Jumat (18/01). Ia pun menyerukan perlindungan warga sipil di wilayah tersebut.
Dalam pernyataannya, pelapor khusus PBB tentang situasi hak asasi manusia di Myanmar, Yanghee Lee, mengatakan bahwa sejak November 2018 warga sipil tewas dan terluka dalam bentrokan antara tentara Myanmar – yang juga dikenal sebagai Tatmadaw – dengan Tentara Arakan.
Tentara Arakan dibentuk pada 2009 dengan tujuan menyatakan “penentuan nasib sendiri bagi rakyat Arakan”, merujuk pada mayoritas etnis Buddha di negara bagian tersebut.
Yanghee Lee mengatakan bahwa konflik tersebut juga menyebabkan pemindahan sedikitnya 5.000 orang, tanpa memberikan angka tentang korban sipil.
“Kedua belah pihak harus mengambil tindakan pencegahan dan memastikan perlindungan warga sipil,” tukasnyanya.
“Tidak dapat diterima bagi Tatmadaw dan Tentara Arakan untuk melakukan permusuhan dengan cara yang berdampak pada warga sipil,” imbuhnya.
Lee mengatakan bahwa tentara Myanmar mengerahkan “sejumlah besar pasukan ke wilayah itu” setelah serangan tersebut.
Pakar PBB mengatakan bahwa senjata berat dan artileri, helikopter digunakan di daerah sipil, yang menyebabkan cedera dan kematian warga sipil.
“Apa yang terjadi di Rakhine mengingatkan saya pada taktik yang digunakan oleh Tatmadaw terhadap populasi etnis selama beberapa dekade,” jelasnya.
“Semua orang di Negara Bagian Rakhine, termasuk Rakhine, Mro, Daignet, Hindu dan Rohingya, telah cukup menderita,” imbuhnya.
Lee pun menyatakan bahwa kekerasan terhadap rakyat Rakhine berlanjut, Lee mengatakan dia “sangat prihatin dengan retorika berbahaya yang digunakan” oleh pemerintah Myanmar.
Lee mendesak pemerintah untuk tidak memblokir bantuan kemanusiaan ke wilayah Rakhine.
“Saya mengingatkan Pemerintah dan Tatmadaw bahwa memblokir akses kemanusiaan adalah pelanggaran serius hukum humaniter internasional,” tandasnya.[IZ]