BEKASI (Panjimas.com) – Ketua Umum Front Anti Pemurtadan Bekasi Ustaz Abu Al Izz menduga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Proyek Penataan Koridor Jenderal Sudirman melakukan distorsi sejarah Islam di Solo.
“Patut diduga PPK melakukan distorsi sejarah Islam di Surakarta untuk melegitimasi perbuatannya dan membohongi masyarakat Islam Surakarta,” kata ustaz Abu Al Izz kepada Panjimas, Jum’at (19/1).
Menurut ustaz Al Izz, mustahil kerajaan Islam Keraton Kasunanan Surakarta menjadikan simbol kerajaan/keislaman yang menghiasi pemandangan tempat publik dengan formasi salib.
“Masyarakat Surakarta tentunya lebih memahami simbol-simbol yang menjadi filosofi kehidupan mereka, dimana mereka merupakan pewaris yang melanjutkan kehidupan Islam di Surakarta,” terang ustaz Al Izz.
Oleh karenanya, dai yang fokus dalam masalah Kristenisasi itu menilai simbol salib yang menghiasi kawasan bersejarah di Solo merupakan bentuk arogansi dan pelecehan terhadap harga diri umat Islam.
“Sudah seharusnya pemerintah segera menghentikan perbuatan yang sangat tidak berdasar tersebut,” pungkas ustaz Abu Al Izz.
Seperti diketahui, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Taufan Basuki mengklaim pihaknya mendesain simbol delapan arah mata angin dalam proyeknya itu. “Terinspirasi dari filosofi kerajaan Islam Keraton Kasunanan Surakarta yang membentang dari Bangsal Pagelaran hingga Tugu Pamandengan.” ujarnya.
Karenanya, Pemerintah Kota Solo menegaskan bahwa pihaknya tidak akan mengubah desain penataan koridor di kawasan yang dikenal dengan Koridor Jensud Solo, walaupun mendapatkan penolakan dari masyarakat karena mosaik menyerupai Salib.
Sementara itu, mantan aktivis gereja, ustazah Dewi Purnamawati menegaskan bahwa ornamen itu adalah benar-benar motif salib yang disengaja.
“Jika dicermati, desain tersebut jelas menunjukkan salib. Itu tidak mungkin tidak sengaja. Harus ditelusuri siapa desainernya?” terang ustazah Dewi.
Hal senada diungkapkan Ketua Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS), ustaz Dr Muinudinillah Basri. Menurutnya, langkah Pemkot Solo sebagai kemungkaran besar yang menodai Islam dan harus diprotes.
“Simbolisasi (salib kristiani) ini harus diprotes dan kita berjuang dengan berbagai macam kekuatan agar simbolisasi itu dikembalikan bahwa Kota Solo adalah kota Muslim,” ujarnya kepada Panjimas.
“Kita tahu bahwa semasa Pakubuwono IV sudah menjalankan syariat Islam. Karena Keraton Kasunanan adalah Kerajaan Islam. Apalagi mayoritas masyarakat Solo juga Muslim,” tambahnya. [DP]